Jubir Eks HGU PT Kinaleosan: Surat Terbuka yang Disampaikan ke PN Bitung Upaya Kaburkan Kepastian Hukum

Jubir masyarakat komponen Eks HGU PT Kinaleosan Cristian Egam. (Dokumentasi | Ist)

BITUNG, SULAWESION.COM – Juru bicara (Jubir) masyarakat komponen Eks HGU PT Kinaleosan Cristian Egam menanggapi surat terbuka yang disampaikan beberapa warga ke Pengadilan Negeri (PN) Bitung beberapa hari lalu.

Menurut Egam, upaya yang dilakukan itu semata-mata hanya untuk mengaburkan kepastian hukum.

Bacaan Lainnya

“Pertama, yang ingin saya katakan adalah perkara yang bergulir di PN Bitung saat ini merupakan perkara tentang pemalsuan dokumen register tanah atas nama Hasan Saman. Padahal, tanah tersebut hak milik keluarga Batuna,” kata Egam.

Kedua, kata Egam, gugatan 600 warga yang dikabulkan Mahkamah Agung (MA) tidak ada hubungannya dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) keluarga Batuna.

“Karena dari 14 SHM yang digugat warga ini hanya 13 SHM yang dibatalkan. Tidak termasuk SHM keluarga Batuna. Sebagaimana jelas dicantumkan dalam amar putusan Peninjauan Kembali (PK),” ucap Jubir Egam sembari mengatakan, putusan asli masih dia pegang.

Ketiga, Egam menyatakan tidak habis pikir dengan dengan pemberitaan sejumlah media tentang Surat Terbuka yg diajukan ke Pengadilan Negeri Bitung.

“Kayaknya, surat terbuka itu salah memilih alasan, atau gagal paham hukum serta bisa juga sengaja dilakukan dengan tujuan mengaburkan kepastian hukum atas putusan-putusan Pengadilan yangg telah inkracht. Termasuk putusan PK Mahkamah Agung perkara No. 101 Tahun 2010 yg dimenangkan Masyarakat Komponen,” tegas Egam.

Lebih lanjut, kata Jubir Egam, sangat tidak etis menggunakan putusan MA tersebut untuk menganulir atau membatalkan SHM orang yang tidak terkait dengan putusan MA.

Karena, katanya, dokumen yang dipersoalkan di Pengadilan adalah dokumen yang menimbulkan hak tanah atas nama Hasan Saman padahal tanah tersebut sudah bersertifikat hak milik atas nama keluarga Batuna.

“Perkara Pemalsuan Dokumen di Pengadilan itu wajar, logis dan memang harus demikian karena ini negara hukum. Harus terang benderang permasalahan di hadapan hukum,” tuturnya.

Menurut ketentuan undang-undang, tambah Jubir Egam, tanah eks 13 SHM yang dibatalkan oleh putusan PK Mahkamah Agung ini, sejak turunnya putusan PK diprioritaskan berikan hak dari masyarakat yang menggugat.

“Dan Hasan Saman bukanlah salah satu penggugat, maka dia tidak ada hak atas tanah eks HGU Kinaleosan. Malah Hasan Saman yang merupakan karyawan PT Kinaleosan adalah penerima kavling yg dibagi-bagi pada tahun 2004 silam,” bebernya.

Ia menjelaskan, permasalahan itu bermula dari akan berakhirnya masa berlaku HGU PT Kinaleosan pada tahun 2004.

Pada 2004 itu, 4 tahun sebelum HGU PT Kinaleosan berakhir. Pemerintah meningkatkan status tanahnya, dengan mengakhiri HGU. Oleh Peraturan Pemerintah (PP) 40 tahun 1999, hak keperdataan PT Kinaleosan dikompensasikan dengan pemberian tanah dalam luasan tertentu kepada PT Kinaleosan sesuai perhitungan-perhitungan yang dibuat pemerintah mewakili negara.
Tanah yang diterima PT Kinaleosan, katanya, kemudian menjadi beberapa SHM atas nama keluarga Batuna. Selebihnya telah dibagi-bagi kepada banyak pihak, termasuk kepada sebagian warga Girian Indah.

“Di sinilah awal dugaan permainan. Terbit sertifikat di atas tanah ini, dan setelah kami telusuri, ternyata banyak yang menerima sertifikat adalah kerabat dari kepala BPN Sulut saat itu, bahkan ada yang dari luar Bitung,” jelasnya.

Waktu itu sebagian penerima sertifikat dari lahan HGU Kinaleosan mendapatkan lahan seluas 5 hektare per orang. Bahkan ada yayasan yang menerima hampir 10 hektare.

“Mengetahui hal ini, masyarakat yang merasa dirugikan menggugat ke PTUN Manado dengan tuntutan pembatalan 14 SHM yang diduga melanggar ketentuan undang-undang. Gugatan ini difasilitasi oleh anggota DPD Sulut saat itu, Aryanti Baramuli, dan didukung oleh 16 pengacara dari IKA PERMAHI Jakarta serta dua pengacara lokal Sulut. Dalam gugatan itu, kami tidak menggugat sertifikat milik dr Batuna karena menurut para pengacara, sebagai pemegang HGU, beliau memang punya hak atas lahan tersebut,” tambahnya.

Gugatan masyarakat terhadap 13 sertifikat dimenangkan warga komponen di tingkat PK MA Inkrah. Sehingga sangat jelas, tidak ada hubungan hukum terkait putusan PK Mahkamah Agung dengan SHM keluarga Batuna.

Ia juga menekankan agar masyarakat dan pihak yang mengikuti kasus ini tidak mencampuradukkan sengketa yang sedang disidangkan dengan status kepemilikan berdasarkan putusan hukum yang telah berkekuatan tetap.

“Harus dibedakan mana perkara pemalsuan dokumen yang sedang disidangkan dan mana tanah-tanah yang sudah diputus oleh PK MA. Ini agar tidak terjadi simpang siur informasi atau bahkan penyesatan,” tukasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan