Menurutnya, dahulu banyak elemen pemuda dari berbagai suku, rhas, agama dan budaya pada tahun 1928 telah bersatu. Dengan itu , lahirlah kesepakatan pada kongres Batavia pada saat itu.
”Ini menandakan sebelumnya dinegara kita ini sudah diberkahi dengan namanya toleransi. Saya memaknai toleransi ini sebagai pilar pemersatu bangsa,” kata Mitha.
Ia mengatakan untuk anak muda saat ini sudah bijaksana dalam menggunakan media sosial (medsos). Namun ketika memainkan medsos malah menimbulkan intoleransi, ancaman – ancaman radikalisme. Ini kata Mita, berangkat dari kurangnya literasi dari anak – anak muda sekarang.
Saya kira FGD ini salah satu ide yang baik dalam memberikan pemahaman kepada anak – anak muda kita terkait toleransi,” ujarnya.
Untuk itu, ia mengajak kepada seluruh elemen pemuda di Sulut untuk memperbanyak literasi.
Bahkan, saat bicara tentang gender di Indonesia, menurut Mitha sudah final. Dia mencontohkan Presiden perempuan Indonesia seperti Megawati Soekarno Putri, kepala daerah perempuan di BMR hingga legislatif.
“Saya kira untuk ruang keterwakilan dari gender itu sangat terbuka,” tandas Mita.
Mitha juga menjelaskan tentang bagaimana peran pemuda dalam menanggapi sikap intoleransi, radikalisme, mengamalkan pancasila, Undang-undang dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.
Menariknya, pemaparan Mitha mendapat perhatian dan apresiasi semua peserta yang hadir pada FGD tersebut. Diketahui, perserta FGD adalah aktifis lintas organisasi kepemudaan dan keagamaan di Sulawesi Utara.
Mitha mendapat applause atau tepuk tangan dari semua perserta ketika selesai memparkan konsep kepemudaan, toleransi, keberagaman, gender dan saran untuk pemuda di Sulut kedepan agar lebih baik lagi.
Radliansa Dodo | GL