OPINI : Kontroversi Putusan MK Mengubah Batas Usia Calon Presiden dan Wakil Presiden

Oleh : Ilham Tamam

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas usia calon presiden dan calon wakil presiden telah menjadi topik hangat di tengah masyarakat dan dunia politik.

Kontroversi ini tidak hanya menciptakan perdebatan di kalangan ahli hukum dan mahasiswa, tetapi juga mengundang mosi tidak percaya dari Direktur Lembaha Bantuan Hukum dan Pemuda Pelajar Mahasiswa Indonesia (LBH-PPMI) Maros, Ilham Tamam.

Bacaan Lainnya

Tamam mengajukan sejumlah kritik terhadap putusan MK, yang didasarkan pada empat poin utama:

1. Mosi Tidak Percaya Terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi
Pertama, Ilham Tamam menyuarakan ketidakpercayaannya terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi. Ini menunjukkan bahwa kontroversi ini juga mencakup masalah kepercayaan terhadap institusi yang seharusnya independen.

2. Inkonsistensi dalam Mengadili Permohonan yang Sama
Putusan MK dalam beberapa kasus yang serupa menunjukkan inkonsistensi. Beberapa permohonan ditolak secara keseluruhan dengan alasan bahwa mereka tidak beralasan menurut hukum. Namun, putusan dalam kasus yang melibatkan pasal 169 huruf q UU Pemilu justru memunculkan perubahan yang signifikan. Ini menimbulkan pertanyaan tentang keseragaman dalam pengadilan MK.

3. Conflict of Interest dalam Mahkamah Konstitusi
Adanya konflik kepentingan dalam beberapa kasus MK juga memunculkan keprihatinan. Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi mundur dalam beberapa sidang karena konflik kepentingan dengan relasi keluarga, tetapi dalam kasus lain, ia tetap hadir. Hal ini menciptakan keraguan tentang integritas MK.

4. Kebijakan Hukum Terbuka (Open Legal Policy) Tidak Netral
Putusan MK dalam kasus ini juga menggambarkan adanya kebijakan hukum terbuka yang tidak netral. Beberapa pihak yang terlibat dalam proses pengadilan memiliki hubungan pribadi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, menciptakan ketidaknetralan.

5. Melampaui Kewenangan
Terkait dengan kewenangan MK, putusan ini tampaknya melampaui batas yang diamanatkan dalam undang-undang. MK seharusnya bertindak sebagai negative legislator, tetapi dalam kasus ini, ia mengambil langkah-langkah yang lebih aktif dalam merumuskan kebijakan hukum.

Sementara itu, Ervan Prakasa, seorang Pengurus LBH-PPMI, menyarankan bahwa MK seharusnya lebih berhati-hati dalam memutuskan kasus semacam ini. MK dapat menghindari konflik kepentingan dan isu politis dengan menunggu hingga proses pendaftaran dan penetapan calon presiden dan wakil presiden selesai. Ini akan membantu memastikan bahwa keputusan MK lebih netral dan bebas dari pengaruh politik.

Secara keseluruhan, kontroversi seputar putusan MK ini menunjukkan perlunya perbaikan dalam sistem peradilan dan kebijakan hukum terbuka. Masyarakat berhak untuk mengharapkan keadilan, netralitas, dan transparansi dalam setiap keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi.

Selaku Dewan Konsultasi (DK) LBH-PPMI, Muh. Iqram juga berkomentar tentang kedudukan hukum dan legal standing pemohon pada putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023, yakni Almas Tsabbiru Re A. Permohonan tersebut dapat dipertanyakan dengan melihat legal standing, karena disisi lain terdapat dua pemeriksaan yang seharusnya menjadi ukuran permohonan tersebut tidak dapat diterima/NO.

“Pertimbangannya yakni tidak memenuhi syarat legal standing dengan salah satu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerugian actual yang bersifat spesifik atau potensial yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi,” katanya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *