MINUT,SULAWESION.COM– Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Utara mendukung Yayasan CARE Peduli (YCP/CARE Indonesia) dan Yayasan Bumi Tangguh melalui inisiatif pemberdayaan perempuan dan perlindungan ekosistem mangrove untuk penanaman 50,000 bibit mangrove di zona penyangga Kawasan Konservasi Perairan (KKP), Selasa 18 Maret 2025.
Dengan dukungan pendanaan dari Asian Venture Philanthropy Network (AVPN), tidak hanya pelestarian mangrove, upaya pemberdayaan ekonomi nelayan perempuan melalui Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP) akan dilakukan untuk mengelola beragam potensi usaha atau ekonomi dari komoditas unggulan setempat.
Kepala dinas kelautan dan perikanan Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) Tianneke Adam menyampaikan dalam sambutannya pada peluncuran program pemberdayaan perempuan pesisir dan restorasi mangrove pelaksanaan program sejalan dengan upaya pencapaian target penambahan KKP baru seluas 326.000 hektar di tahun 2025.
“Kawasan hutan mangrove di 3 desa yakni Desa Palaes dan Desa Serawet di Kecamatan Likupang Barat serta di Desa Minaesa di Kecamatan Wori menjadi kawasan krusial di Sulawesi Utara. Tidak hanya mangrove penting sebagai rumah dari berbagai biota yang hidup di dalamnya, namun juga bagi masyarakat sekitar agar terlindungi dari ancaman krisis iklim serta sebagai sumber pendapatan keluarga,”ujarnya.
Peluncuran program turut dihadiri oleh perwakilan dari AVPN di Indonesia, Dewan Pembina Yayasan CARE Peduli, Esti Andayani, CEO Yayasan CARE Peduli, Dr. Abdul Wahib Situmorang, Ketua Yayasan Bumi Tangguh, Dennie Mamonto, aparatur Desa, dan perwakilan masyarakat desa.
Tianneke menambahkan, upaya perlindungan ekosistem penting untuk dibarengi dengan pemberdayaan masyarakatnya, termasuk para nelayan perempuan.
Rangkaian pemberdayaan seperti peningkatan pengetahuan, penambahan sumber pendapatan alternatif dan pengelolaan keuangan menurutnya dapat langsung berdampak ke masyarakat untuk penguatan peran perempuan pesisir dalam menjaga ekosistem mangrove.
“Pemda pasti selalu berkomitmen memberikanan pelayanan pada masyarakat pesisir untuk peningkatan kesejahteraan mereka secara mandiri. Dengan menjaga ekosistem mangrove, masyarakat termasuk nelayan perempuan bisa menambah pendapatan keluarga. Kami akan memantau dan mengevaluasi program pembinaan yang dilakukan CARE Indonesia dan Yayasan Bumi Tangguh ini untuk keberlanjutannya. Kedepannya ini juga bisa menjadi contoh pembelajaran yang sukses bagi desa lainnya jika mereka menjaga ekosistem pesisir laut mereka tetap lestari,” ungkapnya.
Dr. Abdul Wahib Situmorang, CEO CARE Indonesia menjelaskan, keutamaan program adalah dengan melibatkan dan melakukan pemberdayaan pada perempuan pesisir, termasuk nelayan perempuan sehingga meningkatkan perannya dalam menjaga mangrove.
Menurut Abdul, pemanfaatan dan perlindungan hutan mangrove sudah menjadi kearifan lokal yang dilakukan masyarakat setempat. Di Desa Palaes, kesadaran masyarakat menjaga mangrove sudah muncul karena mangrove menjadi sumber pendapatan melalui wisata mangrove yang sudah berjalan disini.
“Maka dari itu, kelompok perempuan tidak hanya dilibatkan aktif dalam upaya konservasi mangrove melalui pembibitan dan penanaman di program ini, tetapi juga dalam penguatan ekonomi seperti literasi digital dan keuangan, serta penguatan usaha yang menjadi pendapatan tambahan keluarga,” jelas Abdul.
Senada dengan Abdul, Dennie Mamonto, Ketua Yayasan Bumi Tangguh menyampaikan potensi ekosistem mangrove dengan luas mencapai 5.562,62 hektare di pesisir Wori, Likupang Barat, dan Likupang Timur sangat kaya yang terlihat dari dijadikannya Likupang sebagai destinasi wisata ‘super prioritas’.
Menurutnya, pada tahun 2024, kawasan ini menarik lebih dari 572.000 wisatawan domestik dan 7.400 wisatawan internasional, termasuk wisata mangrove yang semakin berkembang di desa-desa pesisir.
“Jika tidak dikelola secara berkelanjutan, perkembangan ini dapat mengancam keseimbangan ekosistem dan penghidupan masyarakat setempat. Kami di Yayasan Bumi Tangguh percaya bahwa melibatkan kelompok perempuan dalam upaya pelestarian mangrove adalah langkah strategis untuk menjaga lingkungan sekaligus menciptakan manfaat ekonomi bagi komunitas pesisir. Dengan peran aktif mereka, kita dapat memastikan bahwa ekosistem mangrove tetap lestari di tengah laju pembangunan dan pertumbuhan wisata di kawasan ini,” ujar Dennie.
Lebih lanjut Abdul menjelaskan terkait pembentukan Kelompok Usaha Ekonomi Perempuan (KUEP), yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian finansial perempuan dan pembentukan komunitas.
“KUEP akan menjadi wadah bagi kelompok perempuan untuk mengumpulkan tabungan, mengakses pinjaman kecil, dan terlibat dalam pengambilan keputusan kolektif. Melalui pelatihan kewirausahaan, kami berharap kelompok perempuan dapat meraih peluang ekonomi lebih luas di luar konservasi mangrove dan meningkatkan kemandirian finansial, serta dapat mendukung peningkatan ekonomi berbasis lingkungan yang berkelanjutan,”katanya.