Bahas Sistem Noken, Fisip UBK Hadirkan Politisi Nasional dan Akademisi Papua

Kuliah umum bertajuk Sistem Noken sebagai Implementasi Sila Keempat Pancasila yang diinisiasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Bung Karno (UBK) pada Rabu 22 Mei 2024. (Foto: Fisip UBK)

JAKARTA, SULAWESION.COM – Menariknya isu politik lokal dan pemerintahan daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Bung Karno (UBK) menggelar kuliah umum dengan tema Sistem Noken sebagai Implementasi Sila Keempat Pancasila.

Tak tanggung-tanggung, penyelenggara mengundang politisi nasional dari Papua yang menjadi Anggota DPR RI dari Dapil Papua Willem Wandik dan akademisi dari Universitas Cendrawasih Rafael Kapura pada Rabu (22/5/2024).

Bacaan Lainnya

Dekan Fisip UBK Franky P Roring menjelaskan kuliah umum ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi para dosen dan mahasiswa karena bisa berinteraksi langsung dengan kedua tokoh hebat dari Papua.

“Ini merupakan kesempatan berharga bagi kita semua karena dapat mendengarkan langsung terkait konteks politik lokal yang menarik dari tanah Papua. Secara khusus pembicaranya merupakan putra asli Papua dengan latar belakang sebagai politisi nasional dan akademisi sehingga pengalaman dan pendalaman teoritis dapat disajikan secara bersama-sama,” jelasnya.

Pemberian cindera mata kepada pemateri. (Foto: Fisip UBK)

Pada kesempatan yang sama juga, Harsen Roy Tampomuri selaku koordinator pelaksanaan kuliah umum yang juga penanggung jawab mata kuliah Politik Lokal dan Pemerintahan Daerah menyampaikan bahwa forum ini sangat baik bagi para mahasiswa yang hadir baik dari Universitas Bung Karno maupun dari luar kampus penyelenggara.

“Forum kuliah umum ini menjadi tempat bagi para peserta untuk mempertemukan hal-hal yang bersifat teoretikal dan empirikal atau berbasis referensi literatur dengan pengalaman kepemiluan dalam konteks lokal. Ada banyak fakta yang boleh diungkap dalam kuliah umum kali ini, diantaranya yakni sistem noken berasal dari akar budaya asli Nusantara “Tanah Papua,” ucapnya.

Bagi Harsen, Noken bukan sekadar benda mati dan alat perkakas saja tetapi sebuah value system atau sistem nilai yang memiliki makna filosofis sangat luas bagi kehidupan orang asli Papua karena menyangkut kehidupan dari natalitas sampai mortalitas. Sehingga sistem Noken merupakan kekayaan dalam sistem kepemiluan Indonesia.

“Sistem noken sebagai peristiwa berproses dan bukan keputusan sesaat karena merupakan rangkaian peristiwa sosiologis, antropologis dan kultural yang berproses secara bertahap. Mulai dari pengenalan profil para tokoh kepada segenap anggota komunitas suku yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bisa lebih dari setahun,” tegas Willem Wandik yang telah menjadi anggota DPR RI sejak tahun 2014 melalui sistem noken.

Foto bersama panitia pelaksana dan para pemateri. (Foto: Fisip UBK)

Bagi Willem, sistem noken merupakan penyelamat demokrasi Indonesia karena sifatnya yang berasal dari keputusan mufakat. Sistem ini baginya merupakan sistem elektoral yang dapat menyelamatkan demokrasi Indonesia yang telah terjebak pada “politik transaksional”, vote buying dan demokrasi liberal yang mengedepankan “kekuatan logistik politik”.

“Berdasarkan perspektif election ‘one man, one vote’ maka proses pelaksanaan referendum Pepera 1969 yang ikut menentukan bergabungnya West Papua ke dalam pangkuan Republik Indonesia, yang hanya mengikutsertakan 1.026 orang dalam keputusan referendum sebagai sebuah peristiwa election yang tidak sah dan illegal. Sebab dalam rentang tahun 1965-1969, jumlah penduduk orang asli Papua tercatat mencapai 800.000 – 1.000.000 orang,” ungkapnya.

Bahkan dalam sejumlah catatan misionaris dan gereja yang melakukan pelayanan di seluruh wilayah West Papua saat itu, menyebutkan jumlah penduduk Papua mencapai 2 juta jiwa.

“Karena Republik Indonesia telah mendapatkan manfaat dari rasionalisasi keputusan sistem ikat/musyawarah mufakat yang dikenali saat ini sebagai sistem noken dalam peristiwa bersejarah dan menentukan bergabungnya West Papua kedalam pangkuan Republik Indonesia, maka sudah sepantasnya republik ini menghargai dan memberikan penguatan dalam sistem ketatanegaraan dengan ikut memperkuat praktek pelaksanaan sistem noken di Tanah Papua,” paparnya.

Willem melihat hal tersebut sebagai bagian dari khasanah/keunikan sistem demokrasi pancasila yang berhasil mempertahankan keutuhan dan integrasi wilayah Republik Indonesia.

Dr Rafael Kapura selaku Akademisi Pascasarjana Universitas Cendrawasih juga mempertajam elaborasi terkait sistem noken.

Menurutnya suara Noken/Ikat/Sepakat bukan pengganti kotak suara. Tetapi merupakan kebijakan afirmasi politik melalui pemilihan umum. Tujuannya yakni untuk meningkatkan kuota Politik Orang Asli Papua (OAP) dalam parlemen.

“Orang Asli Papua dalam parlemen dari pemilu 1971, 1997, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009 selalu kecil jumlahnya sehingga ada kebijakan nasional untuk pengunaan Sistem Noken/Ikat/Sepakat. Kebijakan ini benar-benar meningkatkan kuota Orang Asli Papua dalam parlemen,” ungkap Rafael.

Menurut Rafael, dalam sistem pemilu yang liberal di Indonesia maka Sistem Noken/Ikat/Sepakat perlu dipertahankan dalam konteks Pembangunan Politik Lokal di Tanah Papua.

Pemilihan dengan sistem nasional atau demokrasi barat yang berlaku di Indonesia juga harus dapat dievaluasi kembali dari adanya Politik Kartel dan Anggaran Politik yang mahal dalam pemilu.

Kuliah umum dengan tema terkait sistem Noken mendapatkan dukungan positif dan antusias dari para dosen yang turut hadir serta para mahasiswa.

Begitu antusias dan bernas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan sehingga waktu diskusi selama dua jam masih juga dipenuhi dengan angkat tangan ingin bertanya dari para mahasiswa.

Diskusi pun berlanjut secara informal dari para dosen dan mahasiswa dengan pembicara seusai ditutupnya rangkaian kegiatan.

Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip UBK Rahman Hakim dan Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Politik (Himapol) Fisip UBK menyampaikan apresiasi kepada pembicara yang boleh berbagi dengan para peserta kuliah umum terkait konteks kepemiluan di Papua.

“BEM dan Himapol berharap ada forum-forum lanjutan serupa yang bisa dilakukan bersama pada kesempatan selanjutnya,” harap keduanya.

Siaran Pers

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *