JAKARTA, SULAWESION.COM – Potensi teknis energi terbarukan yang melimpah mencapai lebih dari 3.686 GW adalah modal penting untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di Indonesia di atas 23 persen, bahkan 50 persen pada 2030.
Kajian terbaru Institute for Essential Services Reform (IESR) mengidentifikasi potensi lokasi proyek energi terbarukan yang layak secara finansial di seluruh pulau di Indonesia, berdasarkan perkembangan teknologi dan indikator ekonomi terkini. Temuannya menunjukan bahwa surya, angin dan hidro dapat menjadi tulang punggung transisi energi yang kompetitif.
Kajian IESR bertajuk “Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects” menunjukan terdapat 1.500 lokasi yang sesuai untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di atas lahan (ground-mounted), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di daratan (onshore), dan Pembangkit Listrik Tenaga Mini dan Mikrohidro (PLTM). Total potensi teknis energi terbarukan di 1.500 lokasi tersebut sebesar 548,5 GW.
Beranjak dari temuan ini, IESR menghitung kelayakan finansial, termasuk menghitung tingkat Equity Internal Rate of Return (EIRR) atau parameter finansial lainnya.
Hasilnya, terdapat 333 GW dari 632 lokasi proyek energi terbarukan skala utilitas yang layak secara finansial, berdasarkan aturan tarif dan struktur pembiayaan proyek (project financing) yang umum dipakai di Indonesia. Rinciannya adalah kapasitas PLTS ground-mounted sebesar 165,9 GW, PLTB onshore sebesar 167,0 GW dan PLTM sebesar 0,7 GW.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menekankan, bahwa meski Indonesia memiliki potensi besar dalam energi surya, angin, dan air, pemanfaatannya masih minim.
Salah satu penyebabnya adalah anggapan rendahnya keandalan surya dan angin akibat sifatnya yang intermiten. Padahal, dengan perkembangan teknologi penyimpan energi (battery energy storage system) dan grid forming inverter surya dan angin dengan potensi teknis 3,4 TW dapat menjadi tulang punggung transisi energi.
Selain itu transisi energi juga dapat mendukung target pertumbuhan ekonomi delapan persen dan kemandirian energi di bawah kepemimpinan Prabowo.
“Teknologi energi terbarukan dan penyimpanan energi semakin canggih dan terjangkau. Di beberapa negara kombinasi PLTS dan PLTB dengan baterai yang dapat dispatchable harga listriknya lebih kompetitif dibandingkan pembangkit gas dan PLTU batubara,” ujar Tumiwa melalui Penyerahan Laporan Teknis Pre-FS Energi Terbarukan dan Peluncuran Hasil Studi Unlocking Indonesia’s Renewables Future: The Economic Case of 333 GW of Solar, Wind, and Hydro Projects di Jakarta, Kamis (27/2/2025).
Peralihan ke energi bersih tidak hanya mengurangi emisi, tetapi juga bisa menjadi strategi pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja baru, melalui tumbuhnya manufaktur energi surya dengan adanya permintaan yang meningkat,” sambungnya.
Sementara itu, Koordinator Riset Sosial, Kebijakan dan Ekonomi IESR, Martha Jesica Mendrofa mengungkapkan, ada enam wilayah unggulan untuk pengembangan energi terbarukan berdasarkan kajian kelayakan ekonomi.
Papua dan Kalimantan menjadi daerah dengan konsentrasi tertinggi untuk pengembangan PLTS. Maluku, Papua, dan Sulawesi Selatan dinilai optimal untuk PLTB. Adapun Sumatera Barat dan Sumatera Utara memiliki potensi terbesar untuk PLTM.
Martha menjelaskan bahwa wilayah-wilayah ini memiliki lokasi pengembangan proyek energi terbarukan dengan tingkat Equity Internal Rate of Return (EIRR) yang tinggi, menjadikannya layak secara finansial. Bahkan IESR menemukan sekitar 61 persen dari 333 GW potensi proyek energi terbarukan, atau sekitar 206 GW, mempunyai tingkat EIRR di atas 10 persen berdasarkan aturan tarif yang berlaku dan struktur project financing yang digunakan dalam kajian.
Kapasitas ini lebih besar dari yang dibutuhkan Indonesia pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), yang menargetkan sekitar 180 GW PLTS dan PLTB hingga 2060.
Ke depan, potensi proyek energi terbarukan yang layak secara finansial dapat terus meningkat seiring dengan perbaikan regulasi, infrastruktur, serta penurunan capital expenditure (CapEx).
“Potensi besar ini dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal lagi dengan tersedianya inovasi teknologi, pengembangan jaringan listrik yang lebih fleksibel dan modern yang mampu mendukung integrasi energi terbarukan,” jelas Martha.
“Pemerintah perlu pula menyiapkan regulasi yang jelas dengan proses perizinan yang efisien. Faktor ini dapat meningkatkan daya tarik proyek energi terbarukan bagi investor,” tambahnya.
Pintoko Aji, Koordinator Riset Kelompok Data dan Pemodelan IESR yang juga salah satu penulis kajian ini mengungkapkan, bahwa hasil kajian tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi bagi pembuat kebijakan, PLN, lembaga finansial dan pengembang proyek energi terbarukan.
IESR mendorong pemerintah untuk mengalokasikan lahan untuk untuk energi terbarukan, mempermudah perizinan, dan menetapkan target spesifik untuk energi terbarukan.
Sementara untuk mengakomodasi integrasi lokasi energi terbarukan dengan potensi keuntungan tinggi, PLN dapat meningkatkan perencanaan serta perluasan jaringan dan reformasi mekanisme pengadaan.
Sedangkan untuk menentukan skala prioritas pengembangan energi terbarukan, IESR mendorong pengembang untuk memprioritaskan proyek dengan potensi keuntungan tinggi dan mengoptimalkan desain serta perencanaan keuangan.
Selain meluncurkan studi potensi kelayakan pembangkit PLTS, PLTB, dan PLTM, IESR juga menyerahkan laporan teknis pra-kelayakan di tiga lokasi spesifik, yaitu satu PLTB Sulawesi Selatan, satu Pump Hydro Energy Storage atau penyimpan daya hidro terpompa Sulawesi Selatan, dan satu PLTS terapung di Kalimantan Selatan kepada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) untuk membantu pemerintah menginisiasi proyek ke dalam RUPTL PLN.
Tentang Institute for Essential Services Reform (IESR)
IESR adalah organisasi think tank yang secara aktif mempromosikan dan memperjuangkan pemenuhan kebutuhan energi Indonesia, dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan kelestarian ekologis.
IESR terlibat dalam kegiatan seperti melakukan analisis dan penelitian, mengadvokasi kebijakan publik, meluncurkan kampanye tentang topik tertentu, dan berkolaborasi dengan berbagai organisasi dan institusi.
(Siaran Pers)