Cogito Ergo Sum (“Aku berpikir, maka aku ada”) adalah sebuah prinsip dasar dari metode “keraguan” yang digunakan sebagai landasan untuk mengungkap kebenaran a’la Rene Descartes (1596-1650).
DESCARTES percaya bahwa untuk mencapai pengetahuan yang pasti, kita harus “meragukan” segala sesuatu yang dianggap benar sebelumnya, termasuk ide – ide, pengalaman indera, dan bahkan kebenaran yang tampak mutlak.
Pemikiran Descartes rasanya dapat menjadi suatu alat untuk mengungkap setiap “kebenaran yang tampak mutlak” di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) yang tengah memasuki usia ke – 18 Tahun sejak dilahirkan 2 Januari 2007 melalui Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2007.
Perayaan Hari Ulang Tahunnya (HUT) diperingati setiap tanggal 23 Mei, yakni tanggal dimana peresmian daerah Bolaang Mongondow Utara sekaligus pelantikan Penjabat Bupati (Pj) Bolmut pertama Drs. Hironimus R. Makagansa, M.Si oleh Gubernur Sulawesi Utara DR. Sinyo Harry Sarundajang (Alm).
Di awal perjalanannya, Kabupaten Bolmut mulai berupaya menunjukkan dirinya melalui “pengalaman indera” sebagai sebuah daerah otonom baru, ditandai dengan hadirnya kantor – kantor pemerintahan sementara, pembangunan infastruktur dasar, geliat ekonomi serta aktifitas politik lokal dan masih banyak lagi.
Euforia rakyat Bolmut yang seperti baru saja merasakan sebuah “kemerdekaan dari sang penjajah” terus bergema dan menyelimuti hari – hari itu, juga partai politik yang sibuk menyusun pembagian kursi untuk parlemen tingkat rendah jelang bergulirnya pemilihan legislatif dan pemilihan kepala daerah untuk pertama kalinya di tanah Binadou.
Putra-putri daerah yang berada di seluruh pelosok Indonesia, diajak kembali pulang kampung untuk mengisi, mengabdi dan membangun daerah, seraya berharap dikemudian hari otonomi yang baru saja diraih dapat menjadi landasan pembangunan sumber daya manusia (SDM) untuk generasi selanjutnya, kemandirian ekonomi, dan pemerataan kesejahteraan rakyatnya.
2008, Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Bolmut resmi menetapkan pasangan Hamdan Datunsolang-Depri Pontoh sebagai Bupati/Wakil Bupati terpilih. Pemerintahan Hamdan – Depri yang dikenal dengan sebutan HADAPI ini pun mulai berjalan untuk periode 2008-2013.
Beragam rencana dan program pembangunan daerah pun dicanangkan, namun salah satu program yang terus terngiang dikepala kita yaitu menjadikan Bolmut sebagai Kabupaten Padi yang tak kunjung terjadi. “Keraguan”pertama pun layak kita saji.
Satu lagi, upaya pemerintahan Hamdan – Depri yang menginginkan investor kelapa sawit masuk di wilayah Bolmut, yang ditolak oleh seluruh aliansi gerakan mahasiswa daerah di pelbagai perguruan tinggi, menjadi satu pertanda “keraguan” yang jelas akan tujuan otonomi daerah sesungguhnya.
Tentu saja, gerakan mahasiswa daerah juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya ikut memperjuangkan sebuah daerah otonom Bolaang Mongondow Utara (Binadou) melalui paradigma dan harapan yang dimilikinya (saat itu).
2013 sampai 2023 Depri Pontoh memegang kendali pemerintahan di Bolaang Mongondow Utara. Sepuluh tahun memimpin dengan dua wakilnya yang berbeda, Suriansyah Korompot (2013-2018) dan Amin Lasena (2018-2023).
Tentu saja banyak hal yang perlu diapresiasi, meskipun juga banyak kekurangan yang menyertai kedua pemerintahan ini.
Pemerintahan Depri Pontoh – Suriansyah Korompot yang dilantik 5 September 2013 mengusung slogan Bolmut Kabupaten JUARA (Jujur, Unggul, Adil dan Sejahtera).
Pemerintahan ini terbukti telah melakukan pembangunan diberbagai sektor. Misalnya, sarana perkantoran yang makin memadai, pasar tradisional dan berbagai prestasi yang sifatnya diatas kertas, diantaranya predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam pertanggung-jawaban pengelolaan keuangan daerah.
Namun, mari kita gunakan pendekatan “keraguan” a’la Rene Descartes tadi untuk menguji kebenaran atas klaim prestasi pemerintahan ini dengan mengajukan beberapa hipotesa.
Misalnya, benarkah pembangunan sarana kantor pemerintahan dan pasar tradisional dilakukan secara jujur? atau adakah sebuah ukuran bagi kita yang menandakan daerah ini telah unggul diatas 15 kabupaten/kota lainnya di Sulut? atau cukup adilkah pemerintahan ini terhadap petani dan nelayan kita yang mayoritas menjadi tulang punggung ekonomi bagi keluarganya? atau adakah ukuran kesejahteraan yang dapat diukur dari mayoritas warga kita yang berprofesi sebagai petani dan nelayan?
25 September 2018, Depri Pontoh-Amin Lasena resmi dilantik sebagai Bupati/Wakil Bupati Bolmut setelah melalui sengketa hasil pemilihan di Mahkamah Konstitusi.
Depri Pontoh yang dikenal sebagai birokrat sejati dan Amin Lasena yang merupakan akademisi senior memperkenalkan pemerintahan ini dengan julukan pasangan IDEAL.
Pemerintahan ini mengusung salah satu programnya berupa “kartu sakti” yang disebut sebagai Kartu Ideal. Pemerintahan ini menyiapkan 10.000 kartu jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) pada sektor kesehatan dan 10.000 kartu ideal dibidang pendidikan. Program ini bertujuan untuk menanggulangi beban keluarga kurang mampu pada sektor kesehatan dan pendidikan.
Bak gayung bersambut, tentu saja rakyat Bolmut merasa berbahagia dengan adanya program ini, utamanya warga kurang mampu secara ekonomi. Puluhan ribu kartu jamkesda dibagi ke masyarakat.
Belakangan kita ketahui “kartu sakti” itu ternyata tak lagi sakti, ketika beberapa peserta yang meminta bantuan kepada saya untuk mencoba mengecek kembali status keaktifan kartu jaminan kesehatan yang mereka miliki setelah BPJS dan Puskesmas setempat menginformasikan bahwa kartu itu tak lagi aktif dan tak bisa digunakan sebagai jaminan kesehatan mereka.
Pun demikian dengan “kartu ideal” yang benar – benar tidak ideal itu. Kartu yang dimaksudkan oleh pemerintahan ini untuk mempermudah akses pendidikan bagi warga kurang mampu dan dipercaya dapat mengentaskan kemiskinan, nyatanya tak tersalur sejak tahun 2020.
Kartu Ideal yang semodel Kartu Indonesia Pintar (KIP) a’la Presiden Joko Widodo ini tidak dapat tersalur karena terbentur oleh tidak adanya payung hukum saat itu.
Kartu yang penganggarannya bersumber dari APBD Bolmut tahun 2019 sebesar Rp3,5 Miliar itu tak terlaksana akibat tidak terbitnya peraturan bupati (Perbup) sebagai landasan hukum. “kartu – kartu” itu tak lagi terdengar hingga berakhirnya pemerintahan ini.
Benarkah daerah ini telah ideal sebagai sebuah daerah otonom sesungguhnya?
Beberapa kejadian-kejadian kecil di sepuluh tahun pada kedua pemerintahan yang berbeda ini, cukup menguatkan bagi kita atas kegunaan teori “keraguan” a’la Rene Descartes untuk benar-benar menguji setiap “kebenaran yang tampak mutlak” dari perjalanan daerah ini.
Jelang dasawarsa kedua daerah ini, kita disuguhkan dengan hasil – hasil pemilu dan pemilihan di tingkat lokal yang sungguh mengejutkan.
Betapa tidak, hasil parlemen tingkat rendah telah melahirkan hampir setengah anggota parlemennya dari kalangan anak muda. Pun demikian dengan kepala daerah dan wakilnya yang juga anak muda. Tentu saja, “pengalaman indera’ yang tampak dihadapan kita atas hasil ini perlu diapresiasi.
Kesadaran politik rakyat Bolmut rasanya semakin membaik, lahirnya anak – anak muda di jajaran legislatif dan eksekutif merupakan sebuah gambaran perubahan pola dan paradigma politik lokal. Hal ini membuka jalan sekaligus harapan untuk mewujudkan misi bangsa menuju Generasi Emas 2045.
Meski demikian, tantangan dan rintangan selalu menjadi sebuah keniscayaan dalam setiap perjalanan anak manusia, tak terkecuali kaum muda.
20 Februari 2025, Sirajudin Lasena – Aditya Pontoh yang resmi dilantik dan memerintah di Bolmut untuk masa bakti 2025 – 2030, dengan jargon SIAP sejatinya kedua anak muda ini harus benar – benar siap untuk menjalankan pemerintahannya.
Belajar dari kekurangan dan kesalahan di pemerintahan masa lalu, pemerintahan SIAP ini tentu saja diharapkan menjadi role model pemerintahan yang “sense of belonging” atas ketidak-adilan pemerataan pembangunan di wilayahnya, atas suara keluh – kesah buruh tani dan nelayannya.
Atas teriakan anak-anak muda yang bingung sebab ketiadaan lapangan pekerjaannya, atas rakyat yang sakit tanpa jaminan kesehatannya, atas tangis anak-anak miskin yang tak punya akses untuk pendidikan yang layak baginya dan atas seluruh amanat penderitaan rakyatnya.
Pemerintahan ini harus SIAP keluar dari zona nyaman, harus tegas mengatakan yang benar adalah benar dan yang batil adalah batil, harus berani mengambil kebijakan yang bahkan tak populer sekalipun, demi mewujudkan amanat undang-undang pemerintahan daerah yang sesungguhnya.
Pemerintahan ini juga sejatinya harus SIAP dan menyadari dirinya untuk tidak menempati rumah pribadi sebagai rumah dinasnya dan mau kembali ke Gunung Gulantu, mau mengaktivasi Balai Pendidikan dan Pelatihan Inomunga, mau mereaktivasi dan revitaslisasi Pelabuhan Tuntung, Bendungan Sangkub, Irigasi dan Waduk, Jalan dan Jembatan.
Pemerintahan ini wajib SIAP melihat sektor pariwisata dan maritim sebagai sebuah peluang penigkatan pendapatan daerahnya ditengah ancaman aktifitas illegal fishing dan pengeboman laut yang tak ada habisnya.
Ditengah harapan nelayan akan hadirnya infrastruktur pendukung atas usaha perikanan dan kelautannya, ditengah kuatnya peran aktif anak muda dalam membersihkan pulau, pesisir pantai dan alam lautnya.
Pemerintahan ini sudah sepantasnya SIAP memiliki regulasi untuk melindungi hak – hak buruh, tani dan nelayan atas perlindungan dan jaminan upahnya, atas jaminan kesehatannya, atas jaminan keberlanjutan lahan pertaniannya, dan atas jaminan lapangan pekerjaannya.
Pemerintahan ini juga seharusnya SIAP membangun suprastruktur dan infrastruktur pembangunan sumber daya manusia sebagai investasi jangka panjang dengan mendirikan sekolah tinggi, akademi, institut, politeknik, dan bahkan perguruan tinggi.
Sekali lagi, pemerintahan ini harus SIAP dan tidak boleh lagi berbangga atas prestasi yang hanya diatas kertas dan tak boleh bangga atas tumpukan dokumen kerjasama yang tak pernah terwujud.
Basis riil untuk kebangkitan kekuatan ekonomi lokal dan pemerataan kesejahteraan rakyat Bolaang Mongondow Utara yang wajib diwujudkan.
Karena itu, teori “keraguan” yang digagas oleh Rene Descartes untuk menguji sebuah “kebenaran yang tampak mutlak” dihadapan kita ini, rasanya sangat relevan untuk kita gunakan, untuk membantu kita terhindar dari prasangka dan menerima kebenaran berdasarkan bukti, bukan asumsi.
Lalu, apa yang bisa kita rayakan di setiap Hari Ulang Tahun daerah, dari pemerintahan yang pernah dan/atau sedang memimpin, jika tak ada satupun bukti yang terwujud yang menjadi tujuan substansi lahirnya Undang – Undang Pemerintahan Daerah dan mandat rakyat secara politik?
Penulis: Irawan Rahman, Wakil Ketua DPD II KNPI Bolmong Utara Bidang Buruh, Tani dan Nelayan. Lahir di desa Bigo, Kecamatan Kaidipang dan saat ini tinggal di Tuntung, Kecamatan Pinogaluman.