MANADO, SULAWESION.COM – Rektor Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Prof. DR. Ir. Ellen Joan Kumaat, MSc DEA diduga membentuk dinasti baru untuk mempertahankan kekuasaan.
Tudingan itu terkuak pada aksi damai yang lakukan oleh para dosen seiring kedatangan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Dirjen Dikti Kemendikbudristek), Prof Nizam di Gedung Rektorat Unsrat, Selasa Siang (12/10/2022).
Aksi damai para dosen tersebut diselingi dengan sebuah surat bertuliskan “Mosi Tidak Percaya” di dalam map yang diberikan langsung kepada Prof Nizam, namun map tersebut diteruskan kepada stafnya saat masuk menuju lift bersama Prof. Ellen Kumaat untuk menghadiri rapat senat.
Dua baliho bertuliskan “BERHENTIKAN PROF. ELLEN JOAN KUMAAT DARI PERPANJANGAN JABATAN REKTOR” dan “SEGERA MENETAPKAN PLT REKTOR UNSRAT” dibentangkan oleh para dosen di hadapan media sebelum proses wawancara dilakukan.
Aksi itu merupakan buntut daripada sejumlah persoalan yang dilakukan saat masa kepemimpinan Prof. Ellen Joan Kumaat yang dinilai mencederai demokrasi di Universitas dan ketidakberpihakan pimpinan Unsrat kepada dosen yang menuntut keadilan.
Dosen Fakultas Hukum Unsrat DR. Rorigo Elias, SH MH kepada awak media menerangkan jika perpanjangan masa jabatan rektor tidak mematuhi aturan yang berlaku namun hal itu atas dasar kehendak semata.
Perpanjangan jabatan rektor Unsrat tersebut dinilai bertentangan dengan asas-asas hukum, yang mana seharusnya menunggu rektor terpilih baru kemudian diadakan pergantian pejabat.
“Nah kalau sudah ada dinasti di dalam suatu pemerintahan ini akan mengaborsi kepemimpinan rektor yang akan datang, dia yang kami khawatirkan sehingga kami mintakan kepada pihak Kementerian untuk supaya segera mengganti rektor Unsrat saat ini di luar daripada kekurangan-kekurangan atau hal-hal yang sedang menjalani proses hukum yang tengah berjalan di kejaksaan. Dan karena ada beberapa pejabat yang diganti pertama tidak memenuhi syarat, bisa memenuhi syarat,” terang Elias.
“Kedua diganti pada saat belum habis masa jabatan, yang ketiga mengangkat pejabat yang punya masalah dalam kaitannya dengan proses pemilihan rektor money politik diangkat jadi pejabat sekarang. Nah ini kekhawatiran kami sebagai civitas, jangan sampai ini ada dinasti yang telah terbentuk, lantas ada tekstur baru sehingga tidak mampu untuk bekerjasama antara rektor baru dengan para pejabat-pejabat yang merupakan pembantu,” sambungnya.
Di tempat yang sama, Stanly Monoarfa, SPd MSi selaku Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unsrat mengatakan jika dirinya merupakan korban dosen yang belum dibayarkan haknya selama lima semester.
“Sampai saat ini sudah mau masuk lima semester tunjangan sertifikasi dosen saya tidak dibayar. Persoalan saya yang pertama di fakultas dengan para accesor yang memeriksa laporan kinerja dosen saya dan dokumen-dokumen. Mereka menuduh saya memalsukan dokumen. Saya diteriaki oleh mantan dekan di depan umum, di depan teman-teman dosen. Kedua, saya dituduh oleh pemeriksa accesor bahwa saya sudah memakai dokumen berulang-ulang atau berkali-kali. Dan satu lagi dokumen saya harus ber-ISBM, sedangkan diktat tidak perlu ber-ISBM. Jadi saya pikir accesor seperti ini pantas nggak jadi accesor yang menahan nasib orang?” kat Monoarfa di depan awak media.
Dirinya bahkan sempat melaporkan kasus tersebut di rektorat namun tidak diindahkan, hingga akhirnya ia mengadu ke Komnas HAM.
“Saya merasa tidak ada keadilan. Saya lapor ke Komnas HAM, ini yang ditemukan oleh Komnas HAM satu pelanggaran HAM, kedua perlakuan diskriminatif, ketiga tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah, keempat penyalahgunaan wewenang, kelima pembiaran karena masalah itu dibiarkan oleh rektorat padahal saya sudah menyurat ke rektorat sudah dua kali tidak dibalas sampai detik ini. Isi suratnya yaitu saya bermohon supaya turun tangan ke fakultas, tolong selesaikan hak-hak saya. Karena saya sudah bekerja untuk negara dengan baik dan benar. Saya punya hak untuk menerima itu. Kemudian ada juga yang ditemukan oleh Komnas HAM bahwa saya sudah didzolimi, kemudian ketidakadilan yang terjadi sama saya,” lanjut Monoarfa.
Monorfa menambahkan bahwa dirinya sempat dituduh menyerahkan dokumen palsu, namun ketika ia bersikeras menunjukan letak kesalahan, mereka tak mampu menunjukannya.
“Dalam peristiwa laporan kinerja dosen pada semester 18-19 itu karena saya dituduh, tapi saya minta sebelum saya menempuh jalur hukum saya minta tolong accesor satu ini membuktikan tudahannya. Dia tidak bisa membuktikan karena saya lihat tidak bisa membuktikan saya minta diselesaikan sampai di rektorat, di rektor satu, dua saya datang hanya didiamkan,” tambah Monoarfa.