Di tempat yang sama Tonny Rompis, SH MH yang juga merupakan anggota FPPU menjelaskan jika selama dua periode masa jabatan Rektor Unsrat Prof. Dr. Ir. Ellen Kumaat, DEA memiliki rekam jejak yang diwarnai berbagai unsur subjektif seperti terdapat beberapa laporan dugaan korupsi ke lembaga-lembaga penegak hukum, tetapi belum satupun ditindaklanjuti.
Kemudian menurut Rompis jika selama lebih dari enam tahun dana-dana PNBP yang berjumlah ratusan miliar setiap tahun hampir seluruhnya digunakan untuk pembangunan fisik dimana sudah menjadi rahasia umum adanya fee proyek sebesar 20 persen wajib disetorkan kepada pihak tertentu. Dalam hal ini tampak dana PNBP tidak diprioritaskan untuk proses belajar mengajar seperti pengadaan bahan dan praktikum sangat memperihatinkan, sementara tunjangan kinerja dosen diabaikan selama bertahun-tahun sehingga yang tampak saat ini adalah sebelas bangunan megah yang tidak jelas pemanfaatannya.
“Tidak hanya itu, terdapat berbagai diskriminasi terhadap dosen-dosen kritis seperti tidak mendapatkan alokasi anggaran penelitian seolah-olah penelitian akademik hanya dapat dilakukan oleh kroni kekuasaan, terhambatnya (diduga adanya kesengajaan karena faktor ketidaksukaan) kepangkatan, serta tidak dilantiknya senat Fakultas Hukum selama empat tahun karena ketidaksukaan Prof. Dr. Ir. Ellen Kumaat, DEA terhadap Dekan Fakultas Hukum (yang dihukum adalah sivitas akademika Fakultas Hukum),” jelas Rompis yang juga merupakan mantan dosen dan guru besar Fakultas Hukum Unsrat.
Selanjutnya menurut FPPU soal perpanjangan jabatan Prof. Dr. Ir. Ellen Kumaat, DEA disebabkan oleh gagalnya pemilihan karena adanya bagi-bagi uang pada anggota-anggota senat oleh salah seorang wakil wali kota di Sulut yang menjadi sponsor kandidat tersebut, hal mana hanya mungkin terjadi karena dibukanya jalan oleh Prof. Dr. Ir. Ellen Kumaat, DEA dalam kapasitasnya sebagai Rektor Unsrat. Hal ini dikaitkan dengan beredarnya isu mengenal hak suara 35 persen menteri dalam Pilrek yang memiliki bandrol harga, maka timbul dugaan bahwa praktik korupsi di perguruan tinggi melibatkan pihak Kementerian (konspirasi). Dugaan ini didukung dengan fakta mengenai tanggapan pihak Kementerian terhadap berbagai peristiwa anomali tersebut justru melalui tuduhan balik bahwa sivitas akademika Unsrat sangat gemar saling melapor ke kementerian, sehingga hampir tidak ada laporan yang ditindaklanjuti oleh kementerian.
Sementara itu Kepala Hubungan Masyarakat (Kahumas) Unsrat Drs. Max Rembang, M.Si saat dihubungi melalui via telepon Aplikasi Whatsapp pada Kamis malam (10/11/2022) menyanggah soal beberapa tudingan yang dilayangkan kepada Prof. Dr. Ir. Ellen Kumaat, DEA, salah satunya menjelaskan jika perpanjangan rektor tersebut tidak menyalahi aturan yang ada.
“Jadi perpanjangan rektor itu jelas di SK itu selambat-lambatnya satu tahun. Kemudian rektor sudah lebih dari 61 tahun, kan ini perpanjangan cuma satu tahun, jadi sebenarnya bukan persoalan. Kalo misalnya rektor berakhir usianya 70 tahun misalnya di tahun ini, ah itu. Nah ini cuma persoalan perpanjangan, jadi perpanjangan beda dengan misalnya jabatan normal. Jabatan normalnya kan harus di bawah sebelum 61 tahun, ah itu normalnya. Jadi menurut saya itu rasanya tidak melanggar ketentuan, karena jangan menggunakan standar normal dengan perpanjangan, apalagi perpanjangan itu menurut SK itu selambat-lambatnya satu tahun,” jelasnya.
Kemudian beliau melanjutkan kalau misalnya selama dua periode Prof. Dr. Ir. Ellen Kumaat, DEA terdapat indikasi korupsi pasti telah ditemukan oleh KPK saat berkunjung ke Unsrat pada beberapa tahun lalu.
“Sekitar lima atau enam tahun lalu KPK turun di Unsrat, hasil dari KPK kan tidak ada penyimpangan, ini sudah KPK loh. KPK memang datang langsung ke Unsrat, itu sebelum masuk periode kedua rektor ini. Kemudian ada laporan itu masalah laboratorium di FMIPA, itu sudah di laporkan ke kepolisian tapi SP3, artinya tidak memenuhi syarat dari penyelidikan ke penyidikan,” lanjut Drs. Max Rembang, M.Si.
“Kemudian asumsi ada fee sampe 20 persen menurut saya itu luar biasa, itu 20 persen loh, pasti rektor sudah ditangkap oleh KPK atau jaksa misalnya. Ini kan persoalan asumsi. Ini sebenarnya kalau saya yang rektor nah ini masalah hukum loh, karena ini kan tuduhan yang tanpa bukti. Kalo memang mereka mampu buktikan silahkan. Tapi kalo menurut saya ini lebih banyak ke fitnah,” sambungnya.
Selanjutnya Drs. Max Rembang, M.Si mengatakan praktik korupsi yang melibatkan salah seorang wakil wali kota di Sulut dalam perpanjangan jabatan rektor Unsrat itu di luar kewenangan yang bersangkutan
“Pemilihan rektor secara langsung rektor tidak terlibat di sana, karena rektor cuma anggota salah satu dari 72 anggota senat, jadi rektor hanya salah satu. Kan itu domainnya senat akademik universitas. Jadi kalau dibilang kegagalan rektor, itu rektor tidak punya kewenangan untuk mengatur pemilihan rektor itu. Ini sebenarnya kan jangan tanyakan pada rektor, jadi kegagalan ini kan kegagalan senat mengatur mekanisme itu,” kata Kahumas Unsrat.