Surat Keterangan Pengadilan Kabupaten Kepulauan Talaud Melonguane. (Foto: panitia pemilihan desa Lalue Tengah)
KEPULAUAN TALAUD, SULAWESION.COM – Proses administrasi salah satu bakal calon kepala desa Lalue Tengah, Kecamatan Esang, Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) diduga janggal.
Kejanggalan tersebut disebabkan adanya intervensi dari panitia pemilihan di kabupaten melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Pemberdayaan Masyarakat Desa (DP3A-PMD) Talaud terhadap panitia pemilihan di Desa Lalue Tengah.
Hal ini diungkapkan Ketua Panitia Pemilihan Kepala Desa di Lalue Tengah Darson Lulage kepada media ini melalui panggilan telepon seluler, Senin (23/10/2023) malam.
“Persoalan mengenai penyidikan berkas dari bakal calon atas nama Rafles Wauda menyangkut surat keterangan dari pengadilan,” ungkap Darson.
Atas tendensi panitia pemilihan di kabupaten, Darson bersama keenam rekannya yakni Marnis Wauda (Wakil Ketua), Stelman Lulage (Sekretaris), Edo Gustap Talengkera (Bendahara), Hopni Talengkera (Anggota I), Elisa Matentu (Anggota II) dan Hanok Sordado (Anggota III), diberhentikan secara tiba-tiba bahkan honor mereka tidak berikan.
Panitia pemilihan di desa menjelaskan permasalahan berawal saat salah satu dari tiga Bakal Calon Kepala Desa Lalue Tengah yakni Rafles Wauda dinyatakan tidak memenuhi persyaratan administrasi atau tidak lolos.
“Seperti halnya Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana dari Pengadilan. Sesuai hasil penelitian berkas oleh panitia pemilihan kepala desa Lalue Tengah, Surat Keterangan Tidak Pernah Dipidana oleh salah satu bakal calon kepala desa merupakan salinan dan tidak dicap oleh instansi yang mengeluarkan surat keterangan tersebut. Sehingga terjadi permasalahan pada Pemilihan Kepala Desa Lalue Tengah, yang sampai Panitia Pemilihan Kepala Desa di kabupaten turun langsung di Desa Lalue Tengah untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi,” ungkap Darson.
Menurut Darson solusi yang diberikan oleh panitia kabupaten tidak sesuai dengan aturan yang berlaku, sebab memaksakan Rafles Wauda yang jelas-jelas tidak memenuhi syarat harus diloloskan menjadi calon kepala desa di Lalue Tengah.
Atas dasar tersebut, terang Darson, pihaknya tidak setuju dengan solusi yang diberikan oleh panitia kabupaten.
“Panitia pemilihan kepala desa Lalue Tengah diberikan surat pemberhentian oleh panitia kabupaten, sedangkan kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan panitia pemilihan kepala desa adalah kewenangan BPD (Badan Permusyawaratan Desa_ RED),” terangnya.
Darson mengatakan bahwa Rafles Wauda pada tahap penerimaan berkas hanya memasukan fotocopy, kemudian pihaknya melakukan klarifikasi ke Pengadilan Kabupaten Kepulauan Talaud Melonguane. Menurut Darson di sinilah kejanggalan administrasi bermula.
“Kami klarifikasi ke pengadilan untuk tahap pertama, pengadilan menerangkan itu hanya sebatas fotocopy. Tetapi prosedur utamanya harus surat keterangan asli dari pengadilan,” katanya.
“Serta panitia menetapkan persyaratan itu, tiba-tiba masuk gugatan dari panitia kabupaten bahwa panitia desa salah mengambil keputusan itu. Tiba-tiba diklarifikasi ulang ke pengadilan atau instansi bersangkutan, fotocopy dengan asli diterangkan sama, diberi pengertian bahwa semua asli. Tetapi isi fotocopy surat dengan asli juga berbeda, ada perbedaan. Jadi kami berkeberatan bahwa itu tidak memenuhi persyaratan apalagi fotocopy dengan asli tidak sama dengan isi surat,” sambung Darson.
Darson kemudian membeberkan unsur ketidaksamaan isi surat fotocopy maupun asli.
“Pertama yang dia masukan dia berstatus nelayan, tiba-tiba itu aslinya nanti dia masukan di tanggal 18 September 2023 itu aslinya menerangkan dia berstatus petani. Makanya bagi panitia berkeberatan dalam hal ini. Fotocopy status nelayan, kok aslinya statusnya petani, bagi panitia ada kejanggalan di sini,” beber Darson.
Selanjutnya mengenai surat keterangan catatan kepolisian atau SKCK.
“Terus keterangan di pengadilan tanggal 4 Agustus 2023, sedangkan depe SKCK itu tanggal 15 Agustus 2023, bagi panitia ada rasa kejanggalan karena menurut kami syarat untuk ke pengadilan itu SKCK dulu. Ini pengadilan dulu yang keluar, SKCKnya nanti ke belakang,” tambah Darson.
Darson mengatakan inilah yang menjadi keberatan dirinya dan keenam rekannya tidak meloloskan Rafles Wauda sebagai bakal calon kepala desa karena cacat administrasi.
“Ada kejanggalan, tapi bagi panitia yang ada di kabupaten itu semua tidak dijadikan persoalan. Pemilihan sebetulnya tanggal 18 Oktober, tetapi panitia melakukan tahapan. Tiba-tiba ketika panitia melakukan tahapan di sekitar jam delapan pagi, tiba-tiba ada pemerintah dari kecamatan atas perintah dari pemerintah kabupaten untuk dihentikan,” katanya.
“Kami bersikeras untuk tetap melakukan tahapan tetapi apa boleh buat kami hanya warga masyarakat yang di bawah tidak bisa berbuat apa-apa, jadi masyarakat semuanya dibubarkan. Saat ini panitia diberhentikan tanpa diberikan apapun. Honor kami pun tidak diberikan. Kami sebagai panitia berkeberatan bahwa pemberhentian itu kan tidak sesuai dengan prosedural yang ada di desa. Karena malam pembubaran itu menurut panitia yang ada di desa itu hak daripada BPD, pemerintah yang punya kuasa di desa terus langsung membubarkan,” sambungnya mengeluh.
Darson menduga intervensi yang dilakukan panitia pemilihan di kabupaten untuk meloloskan Rafles Wauda di tahapan calon kepala desa Lalue Tengah dikarenakan terkait maksud atau kepentingan tertentu.
Selain itu undangan yang diberikan panitia kabupaten tidak memuat nomor surat dan cap.
Surat pemberhentian panitia pemilihan desa tanpa nomor surat, kode Plt dan cap. (Foto: Panitia pemilihan desa Lalue Tengah)
“Mungkin tidak sesuailah dengan kepentingannya mereka. Artinya tidak sesuai dengan kemauan merekalah, karena diisukan yang bersangkutan ini orangnya bupati. Jadi apapun depe solusi, dorang tetap usahakan bahwa yang bersangkutan tetap dorang mo kase maso,” tuturnya.
Selain administrasi yang cacat prosedural, Darson meresahkan sejumlah persoalan yang dilakukan Rafles Wauda sebelumnya saat menjabat Kepala Desa di Desa Lalue Tengah.
“Keresahan banyak di sini karena yang bersangkutan kan artinya dari sisi pelanggaran yang bersangkutan melakukan penyalahgunaan kewenangan. Dia kan sebagai mantan kepala desa, jadi dia melakukan penyalahgunaan kewenangan jabatan kepala desa, termasuk dana desa. Selama ini proses ini tidak bisa muncul karena ditutupi oleh pemerintah karena masyarakat nda mampu menerobos. Bukti ada dalam bentuk SPJ, macam juga surat pemeriksaan dari inspektorat juga so ada,” tandasnya.
Sementara Kepada Dinas DP3APMD Steven Heiner Maarisit saat dikonfirmasi media ini melalui panggilan via WhatsApp, Kamis (26/10/2023) malam, menjelaskan panitia Desa Lalue Tengah masuk dalam pemilihan kepala desa serentak, tetapi dalam proses tahapan panitia desa melakukan verifikasi dokumen tidak berdasarkan tahapan yang dikeluarkan oleh bupati.
Menurut Steven nama Rafles Wauda dokumennya jelas-jelas memenuhi syarat dan mereka sudah beberapa kali melakukan rapat dan kesepakatan bersama panitia desa tapi tidak diindahkan.
“Itupun hasil kesepakatan rapat bersama forum pimpinan kecamatan dan di desa, mereka tidak mengindahkan hasil rapat sampai keputusan itu kami bawah ke pengadilan. Sehingga karena panitia di desa ini tidak mengindahkan apa yang disampaikan oleh kabupaten dalam hal ini sesuai perda, perbup, maka kami langsung mengambil tindakan untuk tahapan tanggal 27 September kami memberhentikan tahapan pilkades di sana,” jelasnya.
Lanjut Steven, sewaktu panitia kabupaten mengeluarkan surat pemberhentian pilkades, panitia desa tetap melaksanakan tahapan pilkades tanpa menghiraukan surat yang sudah dikeluarkan, sebab pihaknya melihat itu ada cacat hukum.
“Mereka terus melakukan tahapan-tahapan sesuai dengan hasil pembicaraan mereka, selanjutnya karena mereka tidak mengindahkan surat dari pemerintah daerah, kami langsung turun ke kecamatan. Pertama kami mengundang panitia, mereka tidak datang. Kalau sesuai urutan undangan, asisten I sudah dua kali mengundang panitia desa mereka tidak datang ke Melonguane. Sehingga kami diperintahkan oleh pak asisten untuk melakukan pertemuan di sana,” tutur Steven.
“Pertama saya datang tanggal, hari Jumat kalau tidak salah itu. Hari Jumat tanggal berapa, saya sudah lupa tanggalnya, itupun mereka tidak datang. Eh hari Kamis, hari Jumatnya saya balik lagi. Setelah kami melakukan verifikasi berkas kepada calon yang mereka tidak loloskan dan digugurkan mereka, ternyata ditemukan yang bersangkutan itu masih sah dalam pelaksanaan pilkades. Dokumen administratifnya masih memenuhi syarat karena batas pemasukan berkas itu, identifikasi dokumen itu, penelitian dokumen, itu batasnya sampai tanggal 20. Mereka mengakhiri itu tanggal 12, masih ada waktu sampe tanggal 20, boleh bayangkan,” sambung Steven.
Steven menerangkan panitia desa mengambil keputusan tahapan pilkades sepihak dan tidak melaksanakan tahapan yang dikeluarkan oleh bupati Kepulauan Talaud.
“Dengan alasan itulah kami langsung mengambil tindakan bahwa panitia yang ada di Desa Lalue Tengah ini benar-benar tidak mengindahkan apa yang disampaikan oleh pemerintah daerah. Sehingga kami langsung mengambil langkah untuk dilaksanakan oleh panitia kabupaten. Panitia kabupaten melakukan verifikasi data, ternyata salah satu calon itu telah mengundurkan diri dan menyatakan dia tidak bersedia. Sehingga timbulah tinggal dua calon. Tinggal dua calon yang maju. Dua calon ini kami langsung membuat penetapan dari bakal calon ke calon,” terangnya.
Setelah itu pihak panitia kecamatan mengeluarkan DPS (daftar pemilih sementara). DPS ini dua rangkap di printout, dibagi kepada dua calon. Pihaknya meminta kepada dua calon agar segera melakukan verifikasi data DPS.
“Kita sudah setuju maka kami langsung melakukan DPT (Daftar Pemilih Tetap), DPT ini kami melakukan hasil kesepakatan bersama para calon dan saksi, itu ada kesepakatan bersama. Setelah itu kita maju dari DPT sudah ditetapkan, hari Kamis ini kita melakukan pemilihan. Jadi tidak ada hal yang dirugikan dalam hal ini. Justru panitia yang ada di desa itu benar- benar tidak mengindahkan surat yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah mulai dari tahapan pilkadesnya mereka tidak mengindahkan itu,” imbuhnya.
Terkait isi dokumen yang tidak sesuai, Steven membantah, jika surat yang dikeluarkan oleh pengadilan berdasarkan fakta.
“Mereka itu meragukan surat pengadilan pertama, meragukan surat keterangan dari pengadilan yang menerangkan bahwa yang bersangkutan ini tidak tersandung dalam kasus pidana. Sehingga kami memutuskan kesepakatan bersama pimpinan kecamatan. Ada dua dokumen, dokumen pertama fotocopy yang pekerjaannya nelayan, baru dokumen salah satunya asli pekerjaannya petani. Kami melakukan verifikasi di pengadilan. Di pengadilan ini sesuai dengan hasil keputusan rapat bersama jika dokumen ini benar-benar asli diakui oleh pengadilan maka bapak Wauda sah menjadi calon kepala desa, itu kesepakatan bersama pak. Setelah kami ke pengadilan, pengadilan menerangkan itu adalah dokumen yang dikeluarkan oleh pengadilan sah,”
“Mengapa harus ada dua pekerjaan yang keluar, karena dokumen yang pertama tidak sesuai dengan KTP sehingga mereka rubah dokumen pertama itu menyesuaikan pekerjaan yang ada di KTP,” tambahnya.
Steven membeberkan jikalau pilkades di Desa Lalue Tengah tidak dilaksanakan berdasar keputusan Mendagri maka pilkades di desa itu akan ditunda sampai 2025. Dan tidak menutup kemungkinan desa itu akan digabungkan dengan desa induk.
“Karena kalau tidak pilkades yang ada di Desa Lalue Tengah ini akan ditunda sampai 2025 selesai masa tahapan pilpres. Kalau dia sudah lima tahun Pjs (penjabat sementara), berarti di sini tidak mampu. Dan kami sangat ragu jika lima tahun Pjs, hampir satu periode Pjs desa ini ke depan bisa digabungkan ke desa induk. Kita harus mengambil keputusan itu karena aturan. Dan pilkades serentak ini aturan sesuai undang undang bukan kita buat-buat. Itu amanat undang undang dan di situ sudah disampaikan lewat surat edaran Mendagri bahwa lewat tanggal 31 Oktober tidak ada lagi pilkades serentak se-Indonesia,” bebernya.
Terkait pemberhentian secara tiba-tiba, Steven tidak membenarkan sebab panitia desa mengingkari apa yang menjadi kesepakatan bersama.
“Jadi pemberhentian tiba-tiba tidak benar karena kami itu berapa kali rapat. Awalnya itu mereka sudah tidak mau melaksanakan tugas tetapi kami masih memberikan waktu kepada mereka untuk melaksanakan kegiatan pilkades ini, tetapi apa yang mereka perbuat? justru kesepakatan bersama mereka ingkari. Dan itu saksi kapolsek, baru dari babinsa, danramil. Itu yang menandatangani kesepakatan bersama dan itupun tidak diindahkan panitia ini,” jelasnya.
Perihal honor yang tidak dibayar, menurut Steven panitia desa menolak saat akan diberikan, bahkan ia sudah empat kali bertanya kepada panitia desa.
“Masalah honor empat kali saya tanyakan kepada mereka. Saya bilang begini, ini ada hasil keputusannya juga, saya tanyakan mulai dari ketua, wakil ketua dan anggota. Saya tanya begini kalau masalah honor yang kemarin dari awal itu akan kami bayarkan, tetapi apa yang mereka katakan, kami tidak akan menerima. Biar bagaimana pun kami tidak akan menerima, empat kali saya tanyakan bukan cuma satu kali. Mau minta hubungan kita bagus-bagus jangan sampai begini-begini, tetap mereka menolak,” jelas Steven lagi.
“Dan mereka membuat pernyataan bahwa mereka tidak bersedia menerima dana pilkades dimaksud. Hasil rapat itu kita muat dalam dukomen tetapi saat kami meminta menandatangani berita acara rapat, panitia-panitia ini tidak mau menandatangani berita acara rapat, boleh bayangkan. Tetapi itu disaksikan oleh semua orang, panitia dan kecamatan dari kabupaten bahwa mereka menyampaikan bahwa kami tidak menerima, biar jo dorang bilang. Bahasa Manado bilang biar jo torang serahkan sepenuhnya jo pa panitia untuk menyelenggarakan ini kegiatan itu,” tutupnya.