Dunia Pendidikan Indonesia di Persimpangan Jalan: Membentuk Generasi Emas atau Cemas?

Bung Meidy Richard Momami SH. (Foto: pribadi)

Oleh: Meidy Richard Momami SH (Wakil Ketua Bidang Hukum dan Advokasi DPD GMNI Sulawesi Utara)

SULUT, SULAWESION.COM – Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kemajuan sebuah bangsa. Dengan memprioritaskan pendidikan sebagai aspek utama, negara perlu menyadari bahwa itu merupakan investasi jangka panjang yang sangat penting bagi masa depan bangsa Indonesia.

Bacaan Lainnya

Selain itu, pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Kualitas bangsa tidak lain mencerminkan kualitas sumber daya manusia suatu negara.

Dengan pendidikan yang sungguh-sungguh diarahkan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka suatu bangsa bisa menentukan kemajuannya yang akan datang.

Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD, mengakibatkan anggaran pendidikan juga turut terkena dampak.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) terkena pemangkasan sekitar Rp8 triliun dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiksaintek) dipangkas hingga Rp14,3 Triliun.

Lantas dengan kebijakan pemerintah yang di turunkan melalui inpres justru menimbulkan sejumlah pertanyaan.

Apakah akan membawa dampak positif bagi pendidikan Indonesia atau justru sebaliknya?

Dan apakah bisa menjawab cita-cita pemerintah untuk membentuk generasi emas demi mencapai “Indonesia Emas 2045” atau hanya membentuk generasi yang cemas?

Menurut hemat penulis, alih-alih pemerintah melakukan efisiensi anggaran pendidikan dengan dalih menginginkan pengeluaran yang lebih efisien, baik, bersih dan fokus, terutama dalam melayani kebutuhan rakyat justru sama sekali tidak membawa dampak bagi dunia pendidikan.

Di tengah berbagai isu krusial yang masih menjadi persoalan utama pada sistem pendidikan kita yang seharusnya menjadi fokus pemerintah, seperti tingginya angka putus sekolah, fasilitas pendidikan yang tidak merata, hingga kesejahteraan tenaga pendidik yang masih jauh dari layak. Pemerintah justru mengambil kebijakan yang secara lansung memperburuk kondisi pendidikan di tanah air.

Pemangkasan anggaran pendidikan oleh pemerintah tanpa mempertimbangkannya secara matang akan berdampak pada pelayanan publik dan mengancam misi Astacita Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.

Sebab, pendidikan yang menjadi pilar penting Astacita Nomor 4, yakni penguatan sistem peningkatan kualitas sumber daya manusia, sains, teknologi, dan pendidikan kini menjadi sebuah janji politik seolah-olah memberikan harapan bagi generasi mudah untuk mengenyam pendidikan lanjut.

Dampak dari pemangkasan anggaran pendidikan akibat efisiensi anggaran ala Presiden Prabowo sangat memprihatinkan. Ratusan ribu mahasiswa terancam putus kuliah. Beasiswa berhenti di tengah jalan.

Sebagai contoh; banyak mahasiswa, mempunyai latar belakang ekonomi keluarga kurang mampu yang bergantung pada bantuan pemerintah untuk biaya pendidikan terancam putus kuliah, dan mahasiswa penerima beasiswa KIPK saja jumlahnya 844.147. Jika anggaran dipangkas, beasiswa 663.821 mahasiswa on going tidak bisa dibayarkan dan ditiadakannya KIPK untuk calon mahasiswa baru.

Pengurangan 10 persen juga diterapkan untuk program beasiswa termasuk ADIKA dan Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI). Banyak mahasiswa yang menerima bantuan ini, terutama mereka yang belajar di luar negeri, berisiko dibatalkan.

Mahasiswa dari wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal), yang sebelumnya hanya mengandalkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, sekarang menghadapi keadaan yang mencekam.

Selain itu, Dana operasional Perguruan Tinggi Negeri (PTN) telah dikurangi sebanyak 50 persen, selain bantuan pendidikan. Tentu saja, hal ini dapat mempengaruhi kenaikan Biaya Kuliah Tunggal (UKT), karena PTN pasti akan menemukan cara untuk menutupi kekurangan tersebut.

Banyak mahasiswa yang kesulitan membayar UKT karena anggaran yang sudah sedikit, terutama jika ada potensi kenaikan biaya pendidikan maka dengan sendirinya mempersempit akses pendidikan.

Alih-alih membuat pendidikan lebih mudah bagi warganya malah dilakukan dengan sebaliknya, bukankah seharusnya negara hadir untuk memberikan akses pendidikan yang lebih mudah?

Pemerintah memiliki peran penting dalam meningkatkan pendidikan, mencakup berbagai aspek, yang paling utama adalah pemerintah bertanggung jawab atas penyediaan anggaran. Dimana anggaran ini dipergunakan untuk membangun dan memperbaiki sistem pendidikan.

Kewajiban negara dalam bidang pendidikan itu tertuang dalam Pasal 28C Ayat 1 dan Pasal 28E Ayat 1 dan secara khusus pada Pasal 31 Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Pasal ini menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan.

Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pasal ini menegaskan kewajiban warga negara untuk mengikuti pendidikan dasar dan kewajiban pemerintah untuk membiayainya.

Perwujudan dari hak mendapatkan pendidikan, antara lain:

  • Memberikan akses pendidikan yang terjangkau bagi masyarakat
  • Memberikan pendidikan gratis bagi yang kurang mampu

Persoalan di atas maka bisa dilihat bahwa peran pemerintah dan negara melalui regulasi a quo, negara berkewajiban untuk menyediakan berbagai program beasiswa dan bantuan pendidikan bagi siswa/mahasiswa yang kurang mampu.

Tujuan dari aspek ini adalah untuk mengurangi angka putus sekolah dan memastikan bahwa semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Akses ke pendidikan tinggi di Indonesia dapat menjadi semakin eksklusif jika pemotongan anggaran dilakukan tanpa memperhitungkan efek aktual di lapangan.

Pendidikan yang seharusnya menjadi hak warga negara dapat menjadi kemewahan yang hanya mampu dibeli oleh beberapa orang kaya. Janji-janji politik yang di gaung-gaungkan hanya menjadi sekadar surga telinga tanpa ada komitmen yang jelas dari pemerintah.

Maka dengan melihat kondisi tersebut, bisa disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia berada di persimpangan jalan yang tidak jelas arahnya kemana. Sehingga menimbulkan kecemasan pada generasi muda.

Pemangkasan ini lebih dari sekadar angka; itu adalah keputusan yang mungkin mengubah hidup mereka secara permanen.

Apakah kita akan tetap diam? Atau akankah kita terus mengadvokasi untuk memastikan bahwa setiap orang, bukan hanya mereka yang memiliki sarana, memiliki akses ke pendidikan?

Kita harus mengawal kebijakan ini sekarang, sebelum kesempatan pendidikan benar-benar menjadi langka di negara kita sendiri.

-Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan masa depan, tanpa pendidikan Indonesia tak mungkin bertahan. – Najwa Shihab

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *