Mending Posting Kepiting

Aisah Anili sedang menyortir kepiting jualannya sebelum dikirim ke pembeli. Foto: Adnan Irham
Aisah Anili sedang menyortir kepiting jualannya sebelum dikirim ke pembeli. Foto: Adnan Irham
“Hai hai hadir lagi si capit merah khas Ronta. Yang minat berkabar ya”, kalimat singkat, padat dan jelas sejenis itu biasanya Aisah tulis di akun media sosial pribadinya macam Facebook, WhatsApp dan Instagram kala menawarkan jualannya via dunia maya. Tak lupa disertakan pula beberapa lembar foto sebagai bukti pendukung hingga lengkap dengan opsi harga yang nantinya dapat dipilih calon pembeli.

Aisah adalah satu dari beberapa pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Desa Ronta, Kecamatan Bonegunu, Kabupaten Buton Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Desa yang jaraknya 161 kilometer dari Ibukota Provinsi, Kota Kendari itu, menyimpan potensi kepiting bakau yang kualitasnya bisa diadu dengan daerah lain. Bagaimana tidak, Buton Utara punya 17.736,55 hektare hutan Mangrove yang masuk dalam kawasan hutan lindung dan terluas se-Provinsi Sulawesi Tenggara, dimana 52 persen mangrove ada di Kecamatan Bonegunu. Hebatnya, data dari Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Unit VII Peropa’ea Gantara, La Dirisa menyebut, selain kepiting masih banyak lagi potensi Sumber Daya Alam (SDA) disana baik flora atau fauna, misalnya Lobster dan Udang, Teripang serta rumput laut.

Hal itulah yang kemudian dijadikan peluang bisnis ibu satu anak itu pasca mengundurkan diri sebagai pegawai kontrak di salah satu instansi vertikal. Untuk sementara ia baru memfokuskan ke komoditas kepiting bakau saja. Masa hidup yang lama dan mampu bertahan hingga satu minggu jadi keunggulan lain hewan amfibi itu untuk dijadikan jualan, ditambah dagingnya yang enak dengan kandungan protein yang tinggi hingga 62,72 persen. Namun minimnya pengetahuan tentang budidaya kepiting bakau oleh masyarakat sekitar belum mampu mengembangkan lebih jauh potensi itu.

Ia tahu betul tak akan mudah memulai bisnis itu dikala pandemi Corona saat itu melanda negeri, dimana orang-orang takut bepergian maupun bertemu satu sama lain ditambah imbauan pemerintah untuk “lock down“. Dengan modal seadanya Icha biasa ia disapa sejawatnya, mulai memesan hewan bernama latin Scylla serrata itu ke beberapa nelayan kepiting. Bekal ilmu di bangku kuliah, Sarjana jurusan Agribisnis di Universitas Halu Oleo (UHO) itu juga jadi modalnya. Tak lupa syarat administrasi dilengkapi dengan mendaftarkan usahanya ke Pemerintah Desa Ronta yang kemudian mengeluarkan surat izin keterangan usaha UMKM.

Aisah Anili sedang menyortir kepiting jualannya sebelum dikirim ke pembeli. Foto: Adnan Irham
Aisah Anili sedang menyortir kepiting jualannya sebelum dikirim ke pembeli. Foto: Adnan Irham

Covid-19 kala itu efeknya luar biasa ke semua lini, dampak terbesar tentu saja ekonomi, pembatasan kegiatan masyarakat membuat penurunan konsumsi masyarakat secara signifikan. Perilaku konsumen juga ikut berubah dengan lebih banyak berinteraksi secara digital yang juga membuat UMKM bertahan. Di Ronta, penjual pisang goreng pun juga mengandalkan WhatsApp grup. Zaman sekarang, pelaku UMKM yang “gaptek” dan tak mampu beradaptasi menyonsong era 4.0, dipastikan gulung tikar, pun bertahan akan terseok-seok seperti kata pepatah ‘hidup segan mati tak mau’.

Peluang dan solusi digitalisasi pelaku bisnis didapat Aisah lewat pelatihan daring setelah lolos program pemerintah melalui ‘Kartu Prakerja’, salah satu kekuatan digitalisasi bisnis dapat mengenalkan produk kepada audiens yang tak terbatas karena banyaknya pengguna internet. Bahkan produk di pelosok pun dapat dilihat hingga mancanegara bila diposting di berbagai media sosial. UMKM pun diyakininya bakal mampu bertahan selama pandemi, bahkan tak sekedar bertahan saja, tentunya dengan digitalisasi, UMKM dapat lebih berkembang. Apalagi, dikutip dari salah satu media online nasional menyebut 13 persen dari 64 juta UMKM di Indonesia sudah beradaptasi ke jalur digital.

Aisah juga sadar menerapkan konsep digitalisasi bisnis dari kampung juga banyak tantangan, banyak problem, misalnya saja ketersediaan jaringan internet yang belum merambah seluruh wilayah Buton Utara, termasuk Desa Ronta dan sekitarnya. Selama ini warganet disana hanya mengandalkan Telkomsel, satu-satunya operator telepon seluler penyedia jaringan internet melalui sinyal 4Gnya. Itupun hanya beberapa titik saja, selebihnya ada istilah GSM (geser sedikit mati). Walhasil, satu unit ponsel pintar atau gawai merek vivo y12 milik suaminya “ditumbalkan” untuk dijadikan wifi yang distandbykan di jendela kamarnya.

“Yang paling parah kita disini, kalau padam lampu (listrik). Padam juga jaringan telpon, mau bikin apa mi kita itu,” keluhnya.

Hingga kini pelanggan kepitingnya memang baru seputar wilayah Sultra saja, terbanyak di Kota Kendari, Kota Baubau, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Muna. Kerap pula ada pemesan dari Makassar dan Surabaya, namun belum disanggupi mengingat pengiriman antar provinsi harus melalui izin dan pemeriksaan Balai Karantina Hewan di Kota Baubau yang jaraknya 123 kilometer dari desanya. Bukan soal pengurusan lembaran-lembaran dokumen yang Aisah khawatirkan, namun jalanan di Buton Utara yang masih banyak mengalami kerusakan parah jadi alasan ia tak sanggup ke kota.

Contoh kepiting bakau betina yang pernah dijual Aisah. Foto: Adnan Irham
Contoh kepiting bakau betina yang pernah dijual Aisah. Foto: Adnan Irham

Setelah ‘kartu prakerja’, dapat lagi bantuan pemerintah melalui Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) pertanggal 20 Agustus 2021, setelah serangkaian proses melengkapi administrasi dari desa kemudian antri berjam-jam bersama ratusan pelaku UMKM lain se-Buton Utara di salah satu Bank swasta. Lagi-lagi, rejeki itu dipakai untuk modal kepiting diantaranya membeli kuota internet untuk empat bulan dan 10 lusin keranjang buah untuk tempat penyimpanan sementara kepiting sebelum dikirim ke pemesan.

Ada proses lain sebelum pengiriman dan itu wajib dilakukan, kepiting akan direndam di air yang telah dicampur garam selama 15 menit dengan tingkat kadar garam antara 15 hingga 30 persen, kepiting tidak boleh sampai tenggelam namun hanya menyisahkan setengah badannya saja. Tujuannya supaya kepiting masih dapat menghirup udara,  Bagian perutnya juga harus bebas kotoran agar nanti tidak busuk saat pengepakan, aroma busuk dari kotoran kepiting akan mempengaruhi kepiting lain, besar kemungkinan cepat mati. Cara itu membuat kepiting yang dimuat dalam dos mampu bertahan sampai 12 jam meski dengan sedikit udara.

Saat ini Aisah terkendala Sumber Daya Manusia (SDM) nelayan kepiting yang masih kurang, beberapa diantaranya hanya menjadikan aktivitas itu sebagai sampingan saja, selebihnya berkebun. Mengingat musim juga jadi penentu sedikit dan banyaknya hasil tangkapan ditambah jika air surut, katinting nelayan tidak dapat keluar sampai muara sungai karena buso dalam bahasa setempat artinya surut, ya Desa Ronta bukanlah desa yang posisinya di pesisir pantai, jaraknya ke muara satu jam perjalanan dengan katinting.

Beda dengan Bapak Abida. Nelayan andalan Aisah yang jadi pemasok utama hewan bercangkang itu sejak awal menjalankan bisnisnya. Berapapun hasil tangkapannya, selalu diinfokan ke Aisah juga lewat media sosial. Bapak Abida yang sudah 7 tahun lebih menjalankan pekerjaannya itu mengakui tantangan utama para pencari kepiting adalah buso, kepiting tidak keluar sarang saat itu terjadi, yang kedua umpan, ikan mahal umpan tak ada.

Deringan ponsel tiba-tiba berbunyi, di ujung telepon seorang perempuan dengan nada pelan mengonfirmasikan telah mengirim biaya paket tujuh ekor seharga Rp 150 ribu. Sontak langsung diiyakan Aisah dengan jawaban ‘oke sip’ yang ternyata pelanggannya asal Kota Baubau setelah sebelumnya telah deal tawar menawar via obrolan di WhatsApp. Sambil terus memperhatikan gawainya Aisah berceloteh, biar kantung tidak kering jangan pusing-pusing, mending posting kepiting.

Adnan Irham

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *