Oleh: Yati Suharyati, S.Pd
Provinsi Gorontalo menduduki posisi paling tinggi sebagai provinsi dengan angka rasio kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tertinggi di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018 mencatat, kedua setelah Gorontalo ada Sulawesi Selatan, dan ketika Sulawesi Tengah.
Dalam angka tersebut dituliskan, angka rasio KDRT di Gorontalo berada di 81,1.Ini mengartikan, dalam setiap 100 ribu rumah tangga di Gorontalo, ada 81 kasus KDRT.
Adapun dalam data Pengadilan Agama Kota Gorontalo, KDRT menjadi satu dari empat faktor perceraian di wilayah itu. Faktor lainnya adalah perselisihan, meninggalkan salah satu pihak, dan ekonomi (gorontalo.tribunews.com, 7 Juni 2022)
Benarkah karena budaya patriarki?
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan perkara baru yang terjadi bukan hanya di Gorontalo tapi merata ke seluruh Indonesia. Baru-baru ini masyarakat Indonesia dihebohkan oleh kasus KDRT yang dialami penyanyi Lesti Kejora. Kasus ini disebut-sebut sebagai puncak gunung es kekerasan terhadap perempuan dan disebabkan karena perselingkuhan juga pengaruh budaya patriarki yang masih melekat.
Ditjen PP Kemenkumham memiliki pandangan tersendiri berkaitan dengan KDRT. Dikutip dari artikel hukum halaman Ditjen PP Kemenkumham, dikatakan perempuan adalah kaum yang hampir selalu menjadi korban kekerasan; “Karena budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarki. Di mana laki-laki secara kultural telah dipersilahkan menjadi penentu kehidupan”.
Budaya patriarki memang sering disuarakan oleh para pegiat feminis dengan mengatasnamakan dirinya “pejuang perempuan” demi mengejar target kesetaraan gender. Mereka bergerak memasuki segala ruang persoalan yang di dalamnya terdapat korban perempuan. Termasuk isu KDRT yang mereka coba susupi dengan bumbu budaya patriarki, bahwa ada ketimpangan kuasa antara laki-laki sebagai makhluk superioritas dan perempuan makhluk nomor dua.
Meski terdengar heroik opini budaya patriarki diserukan karena mengatasnamakan kaum hawa. Akan tetapi perempuan wajib cerdas dalam menelaah perjuangan yang mengatasnamakan mereka.
Kekerasan Belenggu Kapitalisme
Semua orang setuju jika KDRT adalah tindakan yang salah. Dari sisi kemanusiaan tidak manusiawi, bahkan dari agama Islam tentu bukanlah sikap yang dicontohkan Nabi. Jadi, memang selayaknya setiap orang yang mengetahui tindakan itu perlu speak up.
Namun, hanya speak up tentu tidak cukup. Selama faktor penyebab KDRT masih ada, KDRT tetap terpelihara.
Jika kita amati, mayoritas faktor penyebab KDRT di antaranya; pertama, perselingkuhan.
Dalam Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016, prevalensi kekerasan fisik terhadap istri lebih tinggi dilakukan oleh suami yang berselingkuh. Istri yang suaminya punya selingkuhan berpotensi 36,48% mengalami kekerasan fisik daripada suami yang tidak berselingkuh.
Kedua, masalah ekonomi. Semakin rendah tingkat kesejahteraan, semakin tinggi risiko terjadinya KDRT. Perempuan dari kelompok 25% rumah tangga termiskin lebih berisiko mengalami kekerasan dari suami. Risiko yang mereka hadapi 1,4 kali lebih besar dibandingkan kelompok 25% terkaya.
Faktor tersebut lahir disebabkan kehidupan masyarakat yang diatur oleh sistem kapitalisme-liberalisme.
Penjarahan sumber daya alam besar-besaran oleh para kapital membuat distribusi kekayaan tidak merata di tengah-tengah masyarakat. Investasi tumbuh secara besar-besaran, menguasi berhektar-hektar lahan, dan mengumbar janji meningkatkan kesejahteraan.
Namun nyatanya, setelah puluhan tahun ekonomi dikendalikan kapital tidak ada perbaikan signifikan. Kemiskinan malah semakin tajam. Buntut panjang dari kemiskinan itulah KDRT karena kebutuhan pokok sulit terpenuhi.
Perilaku hidup bebas masyarakat, berdua-duaan, campur baur menjadi pintu masuk bagi perselingkuhan. Perilaku hidup bebas terjadi dimana-mana. Terlebih pergaulan di media sosial yang tiada batas sering menjadi tempat praktik perselingkuhan.
Menangkal Kekerasan
Kekerasan dalam rumah tangga menjadi tanda rapuhnya ketahanan keluarga. Bagi sebuah keluarga, khususnya keluarga muslim mestinya kehidupan di dalam keluarga layaknya surga. Dihiasi rasa kasih sayang, ketenangan, ketentraman juga bertabur keberkahan.
Islam menentukan kehidupan persahabatan dalam rumah tangga. Pasutri diminta bergaul layaknya teman, bukan seperti atasan dan bawahan. Mereka menjalankan hak dan kewajiban masing-masing. Jika dalam kehidupan pasutri terjadi persengketaan yang dapat mengancam ketenteraman, Islam mendorong mereka bersabar memendam.
Namun, jika masalah pasutri melampaui batas, Islam memerintahkan agar ada pihak ketiga (dari keluarga pasutri) yang membantu menyelesaikan. Islam juga telah menentukan kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga.
Kepemimpinan laki-laki tidak bermaksud menumbuhkan jiwa superioritas pada laki-laki dan istri sebagai wanita kelas dua. Akan tetapi bermaksud laki-laki dan perempuan memiliki porsi hak dan kewajiban masing-masing.
Jika istri membangkang (nusyuz) pada suaminya, Allah memberikan hak pada suami untuk memukulnya dalam rangka mendidik.. Rasulullah saw. menjelaskan dalam khotbah beliau ketika Haji Wada.
Saat itu beliau saw. bersabda, “Jika mereka melakukan tindakan tersebut (yakni nusyuz), maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan (menyakitkan).”
Solusi di atas dapat diterapkan dalam keluarga. Namun, keluarga akan rapuh manakala berdiri sendiri tanpa dukungan masyarakat dan negara. Oleh karenanya, butuh penjagaan masyarakat yang memiliki perasaan dan pemikiran Islam.
Tidak hanya itu, juga butuh dukungan negara yang menerapkan aturan Islam agar seluruh elemen saling mendukung. Sehingga dapat menjadi faktor terpenuhinya kebutuhan primer. Dengan begitu para ayah dapat terjaga dari jiwa kekerasan atau temperamental. Inilah sistem Islam yang komprehensif.(*)