Oleh: Guesman Laeta*
Hoax selalu menjadi praktek berbahaya bagi sendi kehidupan manusia. Dan hoaks akan selalu hadir sebagai senjata yang mampu merontokkan bila tidak ditangani secara serius.
Apalagi diera digitalisasi sekarang ini hoax lebih mudah menyebar. Hadirnya platform media sosial justu tempat empuk penyebar hoax. Mirisnya, hoax mudah ditelan-telan mentah oleh masyarakat.
Tapi sebelum kita lebih lanjut, pengertian hoax dalam Buku Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai informasi atau berita bohong. Dimana hoax sengaja dibuat tidak berdasarkan fakta sebenarnya.
Hoax telah menjadi masalah serius. Banyak masyarakat termakan hoax hingga menimbulkan kegaduhan bahkan kekacauan. Contoh kecil, kasus remaja mengeroyok remaja lainnya hingga tewas di Makassar, Sulsel hanya gara-gara termakan berita bohong.
Saat pademi Covid-19 baru muncul Tahun 2020, hoax tentang Covid-19 menggila. Dari data dirilis Kementerian Kominfo saat pandemi menyerang di 10 bulan, tercatat 1.029 terdeteksi penyebaran hoax melalui media sosial.
Lantas bagaimana dengan hajatan politik? Di Pilkada paling terkenal penyebaran hoax secara massif adalah di Pilkada DKI Jakarta 2017. Hoax seakan merajai gegap gempitanya Pilkada DKI Jakarta saat itu.
Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri disiarkan 8 April 2018 lalu, menyatakan produksi hoax SARA bernuansa suku, agama dan antar golongan yang diproduksi besar-besara bermula pada Pilkada DKI Jakarta 2017.
Fakta selanjutnya, penyebaran hoax saat Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu 2019. Hal ini diungkap Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) melalui halaman resminya Oktober 2019, merekam hoax sejak Agustus 2018 hingga 30 September 2019.
Dari penelusuran Tim AIS Kominfo ada 3.356 hoax. Jumlah hoax terbanyak ditemukan pada bulan April 2019 momen saat Pilpres dan Pemilu.
Dicatat penyebaran hoax paling massif pada platform media sosial. Facebook menempati urutan paling teratas sebagai media yang empuk tempat penyabaran hoax.
Kemudian Twitter dan WhatsApp berada di bawahnya, namun dalam jarak cukup jauh. Sebagai contoh, pada Januari 2019, 49.54 persen hoaks ada di Facebook, 12,84 persen di Twitter dan 11, 92 persen melalui WhatsApp.
Komite Litbang Mafindo merilis pada tahun 2019 momen Pemilu dan Pilpres, kategori hoax dalam bentuk narasi sebanyak 34,86% sedangkan dalam bentuk foto dan narasi sebanyak 28,4% serta gabungan video narasi 17,43%.
Data dan fakta di atas menjadi catatan pelaksanaan Pilkada, Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang.
Hoax akan menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas karena masyarakat disodorkan dengan informasi tidak sesuai dengan fakta.
Hoax tidak hanya meresahkan masyarakat, tapi lebih dari itu. Hoax mampu memecah belah persatuan dan kesatuan masyarakat.
Hoax dapat menyebabkan ketidak percayaan masyarakat terhadap proses pemilu sehingga menimbulkan apatisme dan mengurangi nilai partisipatif masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya.
Yang perlu digaris bawahi adalah serangan hoax terhadap KPU dan Bawaslu. Dari berbagai referensi tidak sedikit daerah penyelenggara pilkada menjadi sasaran hoax.
Salah satu tujuan membangun ketidakpercayaan terhadap penyelanggara sehingga masyarakat terpengaruh terhadap hasil pilkada yang tidak jujur, adil, bebas dan rahasia.
Dari rangkuman berbagai sumber, isu hoax yang biasa jadi bahan informasi bohong sebagai berikut: penyebaran hoax terkait rekayasa kecurangan oleh KPU.
Kemudia hoax terkait server KPU yang dapat dimanipulasi. Padahal hadirnya kebijakan berbasis KPU justru memudahkan dan menjaga marwah transparasi dari penyelenggara.
Kemudian logistik surat suara, acap kali jadi bahan hoax. Termasuk juga dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang begitu mudah jadi bahan hoax.
Hasil pemungutan suara masuk dalam kategori daftar bahan hoax dijadikan senjata untuk melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap hasil kinerja penyelenggara.
Dan paling mengkuatirkan adalah, para orang tidak bertanggungjawab menyerang dengan hoax kepada pada komisioner penyelenggara dengan berbagai tuduhan. Salahsatunya tidak netral.
Cegah Penyebaran Hoax
Bagaimana dengan Pilpres dan Pemilu 2024? Jika melihat fakta di atas penyebaran hoax akan lebih parah jika situasi dan kondisi masyarakat belum ada perubahan menanggapi hoax.
Mengapa demikian, karena perubahan pola masyarakat terhadap media sosial lebih konsuntif dibanding Pemilu 2019 silam. Bahkan, lebih berbahaya lagi platfrom media sosial telah memudahkan masyarakat melakukan siaran langsung atau live.
Masyarakat umum tidak dimodali pengetahuan layaknya jurnalis TV dalam mengambil video secara live. Tidak ada verifikasi apalagi etika jurnalis didalamnya.
Apalagi dibarengi peningkatan penggunaan media sosial oleh masyarakat Indonesia sejak 2020 semakin memudahkan penyebaran hoax.
Salah satu upaya dilakukan oleh pemerintah, penyelenggaran pemilu adalah lebih mempertajam secara massif melawan hoax dengan literasi terhadap masyarakat disemua tingkatan.
Program Kominfo menyasar dan mendorong semua line memperkuat literasi telah banyak membantu dan mencerahkan masyarakat. Seperti media konvensional dan online dituntut memiliki komitmen dalam cek fakta untuk melawan informasi hoax telah mendidik pembaca.
Dan secara umum, pencegahan berita hoax ini dapat dilakukan dengan sebagai berikut: mengenali judul yang provokatif.
Masyarakat cenderung tertarik dengan judul dan narasi-narasi bombastis. Padahal dibalik judul tersebut terselih pesan hoax yang tidak ada hubungan antara judul dan isi berita atau yang ingin disampaikan
Kemudian masyarakat diminta mencermati alamat situs. Apalagi terkait media siber, Dewan Pers sangat selektif, ketat dalam memverifikasi media yang layak dijadikan referensi. Termasuk didalamnya media komitmen melawan hoax dengan menyiapkan rubrik khusus cek fakta.
Selanjutnya, mencegah penyebaran haox adalah cek fakta. Menerima informasi tidak harus serta merta dipercaya. Pertama harus dilakukan mengecek sumber informasi dan mengecek dari berbagai sumber sebelum informasi diperoleh disebar.
Cek keaslian foto atau video. Banyak masyarakat terjebak dengan hoax gara-gara foto dan video. Apalagi editan foto dan video menyakinkan tanpa diteliti lebih mendalam memperparah penyebaran hoax.
Perbanyak ikuti forum anti hoax. Setidaknya, sebagai mawas diri dan ikut memerangi hoax adalah bergabung dengan grup media sosial yang komitmen memberantas hoax. Disinilah akan terjadi sharing informasi terkait informasi yang dianggap hoax.
*) jurnalis dan pemerhati pemilu