By : Bobol Alfonso Malweka
Tulisan ini saya awali dengan penuh kesadaran akan kecintaan pada lembaga dan keresahan atas noda-noda relasi kepentingan. Dan, yah, bagaimana tidak, skema-skema perpolitikan dalam organisasi ini kian memperlihatkan eksistensi progres masing-masing individu dalam kelompok yang kita kenal sebagai komisariat. Dari tulisan ini, saya mengajak pembaca menelisik konflik di dalam tubuh HPPMI Maros dengan pendekatan dan perspektif yang berbeda.
Himpunan Pemuda, Pelajar, dan Mahasiswa Indonesia (HPPMI) Cabang Maros. Salah-satu lembaga kedaerahan di Sulawesi Selatan, dan boleh jadi di antara kita mungkin sepakat bahwa HPPMI sebagai salah-satu organisasi basis kedaerahan tertua yang ada di Kabupaten Maros. Tak lupa bagaimana kekuasaan skala Kabupaten mampu menggerogoti kepala (sentralisasi kuasa), entah dari berbagai aspek dan metodologi.
Dari setetes narasi ini mungkin kita sudah ketahui arahnya? Yap!, benar, kita memasuki pembahasan mengenai cengkraman politik praktis kedaerahan dan konflik yang terbangun dalam sendi-sendi kelembagaan HPPMI Maros.
Dalam konteks konflik horizontal, saya pikir yang membaca teori-teori sosial atau teori-teori konflik, mungkin sudah tidak asing terkait bagaimana kekuasaan menanamkan kesadaran paslu dalam membangun konflik dalam struktur kelas yang sama. Konflik horizontal, begitualah kira-kira sebutannya, bentuk konflik ini besar potensi bahwa mekanismenya didesain dengan rapi. Membaca arah konflik ini, bukan hanya menelaah posisi pertentangan dua atau lebih kelompok dengan kelas yang sama.
Membacanya bagaikan perahu kata, yang membawa kita melintasi waktu, pertikaian, dan kesadaran. Kita diajak mendengar kembali suara air, suara angin dalam diri sendiri yang terlalu lama ditindih algoritma kehidupan. Bukan hanya mendiskusikan sejarah, revolusi, dan politik global di meja-meja perjamuan kudus. Revolusi dan pemuda dalam perspektif Tan Malaka misalnya, pernah dibayangkan sebagai barisan-barisan pikiran, bukan barisan kursi. Jika kekuasaan jadi tempat membagi-bagi jabatan, bukan membagi-bagi keberpihakan, maka itu bukan politik, itu adalah dagang.
Coser sendiri dalam The Funcions of Social Conflic (1956) memberikan argument bahwa konflik tidak harus selalu mengarah pada kekerasan atau kehancuran, tetapi bisa menjadi proses negosiasi antara berbagai kepentingan yang berbeda. Konflik dapat mendorong adanya perbaikan hubungan sosial dan penyesuaian kembali struktur yang ada agar lebih sesuai dengan kebutuhan atau kepentingan.
Aristoteles menyebut manusia sebagai Zoon Politicon, atau binatang yang berpolitik/bermasyarakat, sebab kita dari lahir tidak terlepas dari interaksi-interaksi, dikarenakan kita memiliki kebutuhan/kepentingan: misalnya bayi yang merengek ketika lapar, itu artinya si bayi menginginkan susu.
Dalam beberapa situasi, konflik horizontal sengaja diciptakan atau dimanipulasi oleh pihak-pihak tertentu untuk mempertahankan status quo (struktur kekuasaan yang ada). Dengan memicu ketegangan antara kelompok-kelompok tertentu, pihak-pihak tersebut dapat mengalihkan perhatian dari isu-isu penting lainnya, melemahkan oposisi, atau memperkuat kontrol mereka atas sumber daya dan kebijakan.
Tidak terlepas dari isi tulisan ini yang saya pikir berkaitan dengan teori konflik, terkhususnya teori konflik dalam kacamata paradigma Dahrendorf. Artinya Konflik di dalam masyarakat kapitalis modern, tidak lagi mengerucut pada konteks kepemilikan sumber daya, seperti yang dikatakan Marx, tetapi Dahrendorf mengelaborasikan konsep pemikiran Marx dan menarik ketarap yang lebih luas, yakni perebutan otoritas (posisi individu dalam struktur sosial tertentu).
Berbicara tentang struktur sosial tertentu apalagi pada lembaga HPPMI, memaksa saya berpikir lebih dalam tentang tujuan project-project kepentingan dalam kontestasi demokrasi yang dilaksanakan di Kabupaten Sinjai pada Kongres ke XVII, dimulai 8 Februari 2023, lalu dilanjutkan di Makassar (walau tidak terjadi apa-apa) dan finish di Wisma tani Kab. Maros pada April 2023 dengan ditetapkan Muh. Wajidi Samalewa sebagai ketua terpilih.
Pada fase finish kongres yang dilaksanakan di Wisma tani, banyak menuai kecaman yang dianggap tidak transparan menurut kontr-politikanya, kita sebut saja gerbong B. Alhasil dari dinamika paradigma yang tak sejalan itu, melahirkan suatu gerakan dalam membentuk Kongres Luar Biasa (KLB) yang terselenggara di Kec. Tompobulu, Kab. Maros. Kalian tahu apa yang terjadi? Dan Yap, Benar, Fatturahman resmi menahkodai PP HPPMI Maros berdasarkan keputusan Kongres Luar Biasa yang dilaksanakan di Villa Illuna, Tompobolu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan Jum’at, 2 Juni 2023.
Tahukah kalian apa yang lebih buruk? Yap, benar lagi. HPPMI Maros kini terdikotomi dan terpecah menjadi DUA (Dualisme).
Pertanyaannya, apa yang membuat HPPMI terpecah? Apakah hal ini hanya sesuatu yang spontan, ataukah ada faktor kesengajaan? Apakah retakan yang terjadi berkaitan dengan kontestasi politik di Kabupaten Maros? Mungkin sebagian besar dari kita memang menganggap hal ini adalah klir sesuatu yang spontan, tapi apakah benar seperti itu? Mari kita menyelam lebih dalam!.
Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Maros, adalah pesta demokrasi tertinggi dalam skala Daerah. Bagaimana tidak, dalam kontestasi ini kita melihat Bapak Chaidir Syam (Bupati Kab. Maros) yang kembali berakrobatik nan erotik dalam pesta demokrasi tersebut, apa lagi wakil yang kemudian diusung ternyata berbeda dari sebelumnya akibat isu-isu miring yang menimpa wakil sebelumnya. Sekilas tidak ada yang aneh saat membahas mengenai Pilkada. Tetapi dalam praktiknya, tidak bisa kita pungkiri bahwa hal ini berimbas kedalam lembaga-lembaga pemuda secara tidak langsung.
Tidak bisa kita pungkiri juga, kedudukan HPPMI dalam lingkup pemerintah dianggap sebagai mitra kiris pemerintah Kabupaten Maros. Artinya apa, HPPMI selain sebagai aspek pendukung dalam Daerah, ia juga bisa menjadi ancaman dalam tatanan pemerintahan. Bagaimana tidak, HPPMI dikenal sebagai organisasi yang sangat berpengaruh di Wilayah Daerah Kab. Maros. Sehingga ada potensi konflik yang direkayasa dari dalam sebagai bentuk rancangan kerangka bangunan kontradiksi internal kelompok.
Kenapa? Sebab kedudukan HPPMI dalam akses kepemerintahan itu sudah tak diragukan lagi, sehingga menjadi salah-satu ancaman stabilitas bagi status quo hari ini. Emile Durkheim melihat masyarakat sebagai sistem yang saling berhubungan satu dan yang lain serta dalam kerjasama untuk menjaga stabilitas. Dalam konteks fungisionalisme konflik, konflik bisa dijadikan sebagai bentuk mitos bersama yang mampu menyatukan kekuatan, tapi perlu ada kesadaran melihat atau mendeteksi musuh bersama agar mampu menyatukan kekuatan (konflik vertikal). Lagi-lagi, kekuatan apapun ketika mampu dikendalikan hanyala sebatas singa dalam kandang. Sehingga bukan tidak mungkin, kader HPPMI hari ini dibentuk dengan kesadaran palsu dari hegemoni relasi kuasa.
Bagaimana kesadaran palsu itu membentuk paradigma berpikir kita? Jawabannya, melalui intelektual tradisional. Gramsci membagi 2 kedudukan intelektual, yakni: intelektual organik dan intelektual tradisional. Intelektual organik adalah mereka yang memiliki kesadaran dan pengetahun dalam membangun kesadaran-kesdaran masyarakat mengenai masalah sosial yang dialami, sedangkan intelektual tradisional adalah mereka yang berperan dalam mendukung ataupun sebagai perpanjangan tangan dari kelas penguasa. Artinya, dalam sirkulasi kekuasaan di Kabupaten Maros, itu tidak terlepas dari keterlibatan peran intelektual, sebab intelektual tradisional biasanya memiliki posisi strategis yang terikat dengan pemerintahan. Siapa saja? Entah dosen, guru, mahasiswa, pemuda, seniman dan orang-orang yang memiliki kompetensi dalam mengarahkan pemikiran masyarakat untuk menyepakati ide-ide yang dikehendaki oleh pemerintah dan kepentingan lainnya.
Bangunan-bangunan paradigma anggota atau masyarakat HPPMI, dibentuk berdasarkan relasi kepentingan. Relasi kepentingan ini memaksa menerobos batas-batas arah gerak masyarakat HPPMI, sehingga subjek/orang yang ada di bawah, berpotensi retak dalam menjaga stabilitas status quo. Bukan suatu kebetulan bahwa ada sosok yang terlibat dalam desain konflik horizontal untuk melanjutkan relasi kuasa kedaerahan, dengan sangat rapi dan terorganisir. Bukan hanya itu, bahwa sosok ini terindikasi menjadi dalang retakan (dualisme) dalam lembaga dan kemudian menjadi malaikat yang turun dari langit untuk meredam konflik dan menyatukan kubu yang bertikai seakan menjadi malaikat yang mengendarai kuda putih dan tampil heroik di hadapan para anggota HPPMI dengan mengaburkan ke-objektif-an relasi konflik-sosial yang ada. Bahwa ada tangan-tangan tak terlihat sebagai kendali jarak jauh yang membangun konflik horizontal di dalam tubuh HPPMI Maros.
Artinya apa? sudah dipastikan, bahwa keretakan yang terjadi bukan tidak mungkin sebagai bentuk pelemahan yang dipicu oleh interaksi politik kedaerahan dan kembali disatukan oleh politik kedaerahan sebagai bentuk penyatuan kekuatan dalam distribusi kepentingan. Ketika isu penyatuan hadir, HPPMI kemudian disusupi kepentingan Pilkada serta menjadi salah-satu alat kampanye dengan isu rekonsiliasi sebagai alat untuk menjinakkan keresahan massa dengan surat cinta yang hadir dalam bentuk MOU. Lagi dan lagi, hanya sebagai opium yang menina-bobokan massa. Kalau Marx dengan adagiumnya menyatakan “agama adalah candu bagi masyarakat”, saya memparafrase adagium itu dengan kondisi HPPMI hari ini, bahwa “MOU adalah candu bagi masyarakat HPPMI”.
Sudah bukan rahasia umum lagi, sosok yang tadi kita bahas, dan turun seakan menjadi makhluk yang paling sempurna, karena berjasa menyatukan ke-2 tubuh HPPMI yang terpisah. Walaupun idealnya, para kepala dalam ke-2 elit HPPMI ini harusnya mundur dari jabatan mereka dan mengusung penangnggung-jawab dalam pelaksanaan kongres.
Mengenai MOU dengan segala keromantisannya. Konteks yang ditawarkan dalam MOU, hanya sebagai bentuk tali kekang untuk mengikat kamarahan-kemarahan massa. Dalam artian, MOU sebagai bentuk pengendalian keresahan dengan tanpa adanya penyatuan secara substansial. Walaupun pengamatan secara objektif kita melihat posisi kedua kepala HPPMI sudah sangat mesra dan romantis dalam meja-meja perjamuan kudus (perkopian) sembari membahas perangkat pelaksanaan kongres bersama, “katanya”. Entah.
Penutup. Saat pesta demokrasi HPPMI (Kongres), anak-anak komisariat melihat dinamika perpolitikan organisasi misalnya, mereka tidak membutuhkan pertunjukan kemurahan hati, tapi keteguhan dalam mendidik kemandirian. Mereka butuh makan? Iya. Tapi lebih dari itu, mereka butuh harapan yang tidak habis setelah jam makan siang di lokasi pesta politik.(*)