NgoPi (Ngobrol Pintar) The Society of Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) Simpul Sulut bersama sejumlah pegiat lingkungan di Sekretariat SIEJ, Jumat, 1 Desember 2023. (Foto: SIEJ Simpul Sulut)
MANADO, SULAWESION.COM – Lingkungan memberikan banyak manfaat bagi manusia, salah satunya adalah menyediakan air bersih yang dapat memenuhi kebutuhan.
Sayangnya, beberapa faktor menyebabkan krisis air bersih seperti laju pertambahan dan perpindahan penduduk ke perkotaan yang cukup tinggi, penggunaan lahan yang tidak memperhatikan konservasi tanah dan udara, pembangunan gedung-gedung yang tidak mematuhi kepatuhan lahan terpakai dan lahan terbuka, sehingga mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah.
Masalah selanjutnya yaitu pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan aktivitas industri serta eksploitasi udara tanah yang berlebihan yang dilakukan oleh gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, pusat perbelanjaan, apartemen dan sebagainya.
Gambaran krisis air bersih yang terjadi di Kota Manado, Ibukota Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), menjadi topik yang dibahas dalam program NgoPi (Ngobrol Pintar) The Society of Indonesian Enviromental Journalist (SIEJ) Simpul Sulut bersama sejumlah pegiat lingkungan, Jumat (1/12/2023) di Sekretariat SIEJ.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah populasi penduduk Kota Manado 2022 sebanyak 454.606 jiwa dengan luas wilayah daratan 16.253 hektare, kota terbesar kedua di Pulau Sulawesi sesudah Makassar.
“Dengan kebutuhan yang terus meningkat seiring peningkatan jumlah penduduknya, krisis air bersih akan menjadi ancaman bagi masyarakat, dampaknya akan semakin luas akibat perubahan iklim sehingga kami memandang perlu untuk mengangkat isu ini dalam diskusi bersama kita,” ujar Koordinator SIEJ Simpul Sulut Finda Muhtar saat membuka diskusi.
Hadir dalam NgoPi kali ini sejumlah pegiat lingkungan di Sulut di antaranya Jemmy Makasala (PPSOT Tomohon), Jesita Cornelisz (KPS Firdaus Kema), David Mantiri (WCD Manado) dan Denny Taroreh (Perkumpulan Konservasi Talun Kentur).
“Kota Manado sedang mengalami krisis air memprihatinka, secara sederhana bisa dilihat dari ketergantungan masyarakat terhadap penjualan air bersih kemasan galon maupun tangki air,” ungkap Denny Taroreh.
Ia menyoroti kualitas air sungai yang ada di Kota Manado kurang baik karena kandungan E Coli melebihi ambang batas.
Pada penelitian Pemerintah Provinsi Sulut tahun 2019, terhadap kandungan bakteri E Coli di Daerah Aliran Sungai atau DAS Tondano dan Malalayang sudah mencapai angka 42 ribu.
“Ambang batas kandungan bakteri E Coli di sungai itu 3 ribu tetapi tes dari provinsi kadar E Coli di dua sungai mencapai 42 ribu, artinya kualitas air tidak baik lagi dikonsumsi. Ini menjadi tanda awas,” jelas Dentar sapaannya.
Atas kejadian ini Perkumpulan Konservasi Talun Kentur mulai melakukan pendampingan di masyarakat untuk melakukan upaya penyelamatan air bersih di Kota Manado, salah satunya dengan mensosialisasikan pembuatan sumur resapan.
“Saya usulkan membuat sumur resapan dan menanam pohon untuk menjaga air, upaya ini harus diintervensi pemerintah agar bisa dilakukan secara masif,” tambahnya.
Sementara untuk menjaga kualitas air tanah, Dentar memperkenalkan eco enzym sebagai salah satu solusi.
“Beberapa wilayah pemukiman di Kota Manado terlalu padat sehingga jarak antara sumur dan septic tank tidak memenuhi standarisasi kesehatan yang harusnya berjarak lebih dari 10 meter. Nah, cairan eco enzym bisa membantu untuk menjaga kualitas air karena bisa membunuh bakteri,” kata Dentar.
Aktivis Jemmy Makasala juga menyoroti topografi Manado yang dikelilingi oleh perbukitan dan barisan pegunungan. Wilayah daratannya didominasi oleh kawasan berbukit dengan sebagian dataran rendah di daerah pantai.
“Sayangnya banyak masyarakat membuat pemukiman di areal tebing sehingga menyebabkan penebangan pohon dan tanah tidak kuat menahan air. Nah, lagi-lagi terkait kebijakan pemerintah harus tegas dan perbanyak menyediakan ruang untuk menanam pohon,” tegas Jemmy.
Ia juga ikut menyoroti masifnya pembangunan perumahan di Kota Manado.
“Saya minta pengembang perumahan, jalannya wajib paving blok agar ada penyerapan air, jangan beton atau aspal,” tuturnya.
Selanjutnya David Mantiri menggaris bawahi upaya penyelematan air tanah di antaranya penanaman pohon, pembuatan lubang biopori serta pemanfaatan eco enzym yang banyak manfaat baik sebagai filter air, pupuk alami untuk tanaman dan dapat menurunkan efek rumah kaca.
Sementara Jesita Cornelisz merasa tertantang untuk terus mengedukasi masyarakat, dimulai dari usia dini.
“Mengedukasi orang dewasa saja tidak cukup makanya saya berinisiatif mengedukasi anak-anak. Setiap hari Sabtu pagi kami berkegiatan dengan anak-anak seperti mewarnai, menanam bibit strawberry. Dari situ mulai ada pendidikan lingkungan,” cerita Jesita yang kini merasa senang, karena setiap Minggu ada sekitar 25 anak yang mau belajar lingkungan. (***)