11 Perguruan Tinggi Kritik Jokowi Dinilai Gagal Bangun Demokrasi di Akhir Masa Jabatan

JAKARTA, SULAWESION.COM – Gelombang protes civitas akademika terhadap kepemimpinan Presiden RI Joko Widodo di kampus-kampus semakin meluas.

Dilansir dari cnnindonesia.com, pada Jumat (2/2/2024), sudah 11 Universitas yang mengkritik, setelah terdapat tiga tambahan kampus yang menyampaikan sikapnya terhadap kepemimpinan Jokowi.

Bacaan Lainnya

11 Universitas tersebut yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Universitas Islam Indonesia (UII)Jogjakarta, Universitas Hassanudin (UNHAS) Makassar, UNAND Sumbar, Universitas Padjajaran (UMPAD) Bandung, ULM Banjarmasin, UNMUL Samarinda, Universitas Indonesia (UI), UAD Jogjakarta, UNKHAIR Ternate dan UIN Jakarta.

Dalam pernyataan sikapnya, UI mengaku terpanggil untuk menabuh genderang memulihkan demokrasi negeri yang terkoyak.

“Lima tahun terakhir, utamanya menjelang pemilu 2024, kami kembali terpanggil untuk menabuh genderang, membangkitkan asa dan memulihkan demokrasi negeri yang terkoyak,” ujar Ketua Dewan Guru Besar UI Harkristuti Harkrisnowo di Kampus UI, Depok, Jumat (2/2).

“Negeri kami tampak kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa, nihil etika, menggerus keluhuran budaya serta kesejatian bangsa,” sambung Harkristuti.

Terdapat empat poin tuntutan yang termuat dalam pernyataan sikap UI. Pertama, mereka mengutuk pelbagai bentuk tindakan yang mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kedua, UI menuntut hak pilih rakyat dalam pemilu dijalankan tanpa intimidasi dan ketakutan. Ketiga, UI menuntut semua ASN, pejabat pemerintah, ABRI dan Polri dibebaskan dari paksaan untuk memenangkan salah satu pasangan calon.

UI pun menyerukan agar semua perguruan tinggi di Indonesia mengawasi dan mengawal ketat pemungutan dan penghitungan suara di wilayah masing-masing.

“Mari kita jaga bersama demokrasi dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai dan banggakan,” seru Harkristuti.

Sejumlah guru besar dan civitas akademika Unhas mengingatkan Jokowi dan semua pejabat negara, aparatur hukum dan aktor politik yang berada di kabinet untuk tetap berada di koridor demokrasi, mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial serta rasa nyaman dalam berdemokrasi.

“Senantiasa menjaga dan mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dalam pelaksanaan sebagai instrumen demokrasi,” kata Triyatni Martosenjoyo.

Triyatni juga meminta KPU, Bawaslu dan DKPP selaku penyelenggara pemilu agar bekerja secara profesional dan bersungguh-sungguh sesuai peraturan yang berlaku.

Penyelenggara pemilu, terang dia, harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip independen, transparan, adil, jujur, tidak berpihak dan teguh menghadapi intervensi dari pihak mana pun.

Forum guru besar dan dosen Unhas menyerukan kepada masyarakat dan elemen bangsa secara bersama-sama mewujudkan iklim demokrasi yang sehat dan bermartabat untuk memastikan pemilu 2024 berjalan secara adil, jujur dan aman.

“Agar hasil pemilu dan pemilihan presiden dan wakil presiden mendapat legitimasi kuat berbasis penghormatan suara rakyat,” terang Triyatni.

Koalisi Dosen Unmul pun ikut menyerukan sikap menyelamatkan demokrasi dan meminta Jokowi untuk tidak memihak di Pemilu 2024.

Dosen Fakultas Hukum (FH) Unmul Herdiansyah Hamzah mengatakan pihaknya menilai demokrasi Indonesia dalam ancaman bahaya.

Ia menegaskan demokrasi yang dibangun di atas darah dan air mata saat reformasi 1998, kini didesak mundur akibat perilaku kekuasaan dan para elite politik.

Herdiansyah menyebut upaya tersebut dimulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai cacat etik.

Putusan itu dinilai memberi jalan politik dinasti, keterlibatan aparatur negara yang menggadai netralitas, pengangkatan penjabat kepala daerah yang tidak transparan dan terbuka, hingga keperpihakan dan cawe-cawe dalam pemilihan presiden yang membahayakan demokrasi.

“Presiden tidak boleh memihak, setop langkah politik yang hanya ditujukan untuk kepentingan dinastinya. Jokowi adalah presiden seluruh rakyat Indonesia, bukan presiden untuk anak dan keluarganya,” tegas Herdiansyah.

Koalisi Dosen Unmul menyerukan kepada seluruh akademisi dan kelompok intelektual lainnya untuk terlibat secara luas dan masif dalam menjaga demokrasi dari ancaman tiran kekuasaan.

Apa yang disampaikan oleh civitas akademika di atas menyusul sikap yang lebih dulu ditunjukan oleh UGM.

Guru-guru besar UGM mengkritik pemerintahan Jokowi melalui ‘Petisi Bulaksumur’. Mereka menilai Jokowi sebagai salah satu alumnus kampus telah melakukan tindakan-tindakan menyimpang di tengah proses penyelenggaraan negara.

Petisi tersebut dibacakan Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Koentjoro di Balairung UGM, Sleman, DIY, Rabu (31/1). Ia didampingi sejumlah guru besar lain dan unsur mahasiswa di antaranya oleh Ketua BEM KM Gielbran M Noor.

Dengan mengingat dan memperhatikan nilai-nilai Pancasila serta jati diri UGM, mereka menyampaikan petisi keprihatinan mendalam atas tindakan menyimpang dari prinsip-prinsip moral demokrasi, kerakyatan dan keadilan sosial oleh sejumlah penyelenggara negara di berbagai lini dan tingkat.

“Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar Universitas Gadjah Mada,” bunyi Petisi Bulaksumur yang dibacakan Koentjoro.

Adapun beberapa penyimpangan yang disinggung dalam petisi tersebut antara lain soal pelanggaran etik di MK, keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses demokrasi perwakilan yang sedang bergulir, serta pernyataan kontradiktif presiden tentang keterlibatan pejabat publik dalam kampanye politik antara netralitas dan keberpihakan.

Mereka menganggap itu semua sebagai wujud penyimpangan dan ketidakpedulian akan prinsip demokrasi.

Kritik juga muncul dari civitas akademika UII Yogyakarta. Mereka mendesak Jokowi untuk kembali jadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan.

Desakan itu disampaikan melalui pernyataan sikap ‘Indonesia Darurat Kenegarawanan’ yang turut memuat sejumlah tuntutan lain untuk Jokowi dan pemerintahannya. Pernyataan sikap dibacakan langsung oleh Rektor UII Fathul Wahid.

Jokowi diminta tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden di Pilpres 2024.

Mereka juga menyoroti perkembangan politik nasional yang dianggap semakin mempertontonkan penyalahgunaan kewenangan tanpa malu-malu dan kekuasaan untuk kepentingan politik praktis sekelompok golongan dengan mengerahkan sumber daya negara.

“Demokrasi Indonesia kian tergerus dan mengalami kemunduran. Kondisi ini kian diperburuk dengan gejala pudarnya sikap kenegarawanan dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo,” ujar Fathul.

Kritik juga datang dari BEM Universitas Brawijaya (Unibraw) di Malang, Jawa Timur. Mereka menyuarakan kemungkinan reformasi jilid dua lantaran kondisi negara saat ini tidak baik-baik saja.

“Hari ini saatnya bergerak, negara telah kehilangan muruah. Bukan tidak mungkin reformasi jilid II akan terjadi,” kata Presiden Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya Rafly Rayhan Al Khajri, Kamis (1/2/2024).

Rafly mengatakan saat ini terjadi penyalahgunaan instrumen hukum oleh Jokowi. BEM Unibraw menilai pengawasan dan penegakan hukum selama masa kampanye pemilu 2024 telah kehilangan fungsinya.

Selain itu, kata Rafly, Jokowi telah mempermainkan hukum dengan mengklaim boleh memihak dan berkampanye. Menurut dia, Jokowi tak membaca undang undang Pemilu secara utuh.

“Jokowi dan para pembisiknya tidak tahu cara membaca undang undang. Setiap hari penuh blunder dan klarifikasi,” kata Rafly.

(***)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *