Diskusi SIEJ Simpul Sulut dan Lestari Bumi Hijau: Dampak Negatif Proyek Strategis Negara terhadap Lingkungan

Ngobrol Pintar atau NgoPi The Society Of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) Simpul Sulut bersama Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) Lestari Bumi Hijau (LBH) di Sekretariat AMSI, Kota Manado, Jumat (20/10/2023) malam. (Foto: Adi Sururama)

MANADO, SULAWESION.COM – Dampak Negatif Proyek Strategis Negara terhadap Lingkungan di Sulawesi Utara (Sulut) menjadi pembahasan menarik pada agenda Ngobrol Pintar atau NgoPi The Society Of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) bersama Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) Lestari Bumi Hijau (LBH).

Bertempat di sekretariat bersama SIEJ Simpul Sulut, Jumat (20/10/2023) malam, NgoPi turut membahas beragam persoalan yang diakibatkan proyek negara mengatasnamakan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.

Bacaan Lainnya

Ketua LBH Brivy Lotulung mengungkapkan selama ini kelompoknya menolak beberapa proyek strategis negara yang berdampak buruk terhadap lingkungan.

Salah satunya yaitu rencana kegiatan pengeboran panas bumi yang akan dilaksanakan oleh PT Geotermal Pertamina di Desa Tumaratas, Kecamatan Langowan Barat, Kabupaten Minahasa yang dikhawatirkan akan berdampak bagi ketersediaan air permukaan untuk lahan pertanian di sekitarnya.

“Dari data yang dimiliki sungai-sungai kecil di Gunung Soputan itu menyumbang air ke Tondano, kami kuatir pengeboran panas bumi berpotensi merusak lingkungan. Kami menolak adanya aktivitas panas bumi yang masuk beroperasi di Gunung Soputan,” ungkap Brivy didampingi beberapa pengurus LSM LBH.

Selain itu, kegiatan lain yang mendapat penolakan yaitu rencana kegiatan penyadapan getah pohon pinus di kawasan hutan lindung Desa Tumaratas dan sekitarnya yang akan dilakukan PT Hong Thai International kerjasama dengan Dinas Kehutanan Provinsi Sulut.

Penyadapan getah pinus sendiri pernah terjadi di tahun 2018 sehingga sebagian besar pohon pinus di Basecamp Gunung Soputan kulitnya hampir terkelupas karena diambil getahnya.

“Pohon pinus ini ketika kulitnya dikupas pasti akan mati, dan setelah kami telusuri perusahaan ini pernah beroperasi di wilayah Gorontalo. Di sana pinus-pinus yang disadap getahnya sudah kering dan mati, kami tidak ingin itu terjadi di Gunung Soputan mengingat ada banyak petani di bawah kaki Gunung Soputan yang bergantung hidupnya dengan sumber air dari hutan pinus,” tutur Brivy.

Disadari bahwa setiap kegiatan pembangunan yang menggunakan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya, secara langsung menyebabkan perubahan lingkungan.

Menurutnya di sisi lain menolak proyek akan beresiko berbenturan dengan pemerintah.

“Saya sudah tahu konsekuensinya seperti apa ke depannya tapi jika dibiarkan alam kita semakin rusak, masyarakat Kota Tomohon sekarang membeli air, satu tong itu dikenai harga Rp200 ribu, bisa dicek. Kita yang berlimpah sumber air untuk mengairi pertanian dan semua kebutuhan masyarakat, apakah ke depannya kita mau membeli air? jika tidak mau berarti kita harus menolak bentuk perusakan di Gunung Soputan,” tegasnya.

Atas sikapnya yang kritis, LBH kini menjadi salah satu komisi penilai AMDAL dari Kementerian Lingkungan Hidup.

Sementara itu Finda Muhtar selaku koordinator SIEJ Simpul Sulut mengapresiasi kehadiran LBH dalam program NgoPi kali ini.

Dikatakan Finda program NgoPi menjadi agenda diskusi rutin SIEJ Simpul Sulut untuk meningkatkan pemahaman terkait isu lingkungan di antara anggota.

“Di SIEJ kami anggotanya dilatih untuk meningkatkan skill serta kapasitas jurnalis untuk peliputan terkait lingkungan, apalagi isu lingkungan dalam sebuah media hanya menempati ruang kecil saja sehingga lewat diskusi seperti ini kami berharap bisa menjaga jaringan antara jurnalis dan narasumber terkait isu-isu lingkungan,” kaya Pemimpin Redaksi BeritaManado.com ini.

Sambung Finda program NgoPi SIEJ Simpul Sulut telah dilaksanakan beberapa kali dengan narasumber yang berbeda di antaranya Asosiasi Nelayan Tradisional, BKSDA Provinsi Sulut, DLH Provinsi Sulut dan Anoa Breeding Center.

Finda juga menjelaskan sekilas tentang SIEJ yang dideklarasikan oleh 45 jurnalis dari berbagai daerah di Indonesia pada 22 April 2006, bertepatan dengan peringatan Hari Bumi di Taman Nasional Leuser, Sumatera Utara.


(*/Noufryadi Sururama)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *