“Produksi perusahaan daur ulang kertas PT Futai Sulawesi Utara mengakibatkan dampak ke petani Kangkung di Kelurahan Tanjung Merah. Limbah perusahaan PMA itu menjadikan aliran sungai keru hingga merampas kehidupan petani yang selama ini bergantung hidup di sekitar alur sungai”
BITUNG, SULAWESION.COM – Hengky Yanis (49) petani kangkung di Kelurahan Tanjung Merah, Kecamatan Matuari mengaku, hasil panennya mengalami penurunan ditengah permintaan konsumen yang tinggi sejak beberapa bulan terakhir.
Aliran sungai Tanjung Merah yang kerap menjadi tumpuan petani kangkung kini tidak bisa diandalkan lagi. Selain berwarna coklat, air sungai juga dipenuhi lumpur hitam pekat.
“Kalau ada pembuangan limbah, saya terpaksa menutup pasokan air ke lahan kangkung. Ada juga beberapa petak lahan kangkung yang sudah terkontaminasi limbah. Untuk menjaga kualitas kangkung, saya terpaksa mengganti bibit secara bertahap,” ucap Hengky saat ditemui media ini, Selasa (4/1/2025) sore.
Menurut Hengky, ia tinggal di Tanjung Merah kurang lebih 10 tahun sebagai petani kangkung. Meski menempati rumah yang belum permanen, dia bersama kedua anaknya telah mengelola 7 petak lahan pertanian kangkung.
“Hasil dari jualan kangkung ini, kami bertahan hidup sehari-hari. Ada juga tanaman pisang. Tapi, itu hanya untuk di konsumsi orang rumah. Kalau buahnya lagi musim kadang dijual. Namun, hasilnya tidak seberapa dibandingkan kangkung,” katanya.
Semenjak perusahaan daur ulang kertas PT Futai Sulawesi Utara berproduksi, penghasilan Hengky sebagai petani mengalami penyusutan signifikan.
Sebelumnya, hasil produksi tanaman dengan nama ilmiah Ipomoea aquatica ini mencapai 60 sampai 70 bal setiap bulan, kini berkurang ke 30 bal.
Ia menduga kuat, hasil pembuangan limbah PT Futai secara serampangan di hulu menjadi sebab rusaknya aliran sungai hingga berdampak ke lahan kangkung di hilir.
“Sejak PT Futai mulai aktivitas produksi, petani menderita. Kangkung banyak yang rusak. Daunnya menguning. Ini menyebabkan gagal panen. Untung-untungan dapat 30 bal per bulan. Ada juga dampak lain pak. Yaitu, bau limbah Futai sangat menyengat,” tuturnya.
Kelurahan Tanjung Merah sendiri salah satu dari 8 kelurahan yang ada di Kecamatan Matuari. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, kelurahan yang terkenal ‘kampung tua’ ini dihuni 1.583 jiwa penduduk dengan kepadatan penduduk mencapai 31,18 jiwa per kilometer persegi.
Sejak Kota Bitung dilirik dalam ladang Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 2014, pengelolaan limbah sejumlah perusahaan yang masuk di kawasan KEK dapat dibilang ugal-ugalan. Potret paling nyata adalah pengelolaan limbah di PT Futai Sulawesi Utara.
Meskipun beberapa kali mendapat protes keras dari warga, perusahaan yang tercatat sebagai penanaman modal asing (PMA) ini terbilang pasang sikap ‘cuek’.
Sikap cuek PT Futai Sulawesi Utara terus mendapat perlawanan dari masyarakat. Lewat ‘Solidaritas Tanjung Merah Memanggil’ warga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bitung merekomendasi PT Futai tutup sementara.
Alasannya cukup masuk akal. Yaitu dampak dari hasil limbah produksi PT Futai menganggu petani dan kenyamanan warga Tanjung Merah.
Di Rapat Dengar Pendapat (RDP) beberapa hari lalu, anggota DPRD yang tergabung di Komisi III mendapat kritik keras dari aktivis dan salah satu perwakilan Solidaritas Tanjung Merah Memanggil, Roby Supit.
Menurut Roby, kasus pencemaran lingkungan ini harusnya membuat DPRD secara lembaga berpikir dewasa. Ada banyak hal, katanya, yang perlu dilakukan DPRD tapi tidak dilakukan.
“Seperti contohnya, DPRD tidak perna melihat izin-izin pengelolaan limbah dan meminta dokumen kepada DLH terkait hasil uji berkala setiap bulan PT Futai. Jika ini dilakukan sejak awal, lembaga negara tidak terkesan terlihat lemah,” tegas Roby.
Ia juga menuturkan, memahami betul PT Futai Sulawesi Utara berdiri di dalam zona Kawasan Ekonomi Khusus. Tentunya, dari konteks izin perusahaan ini berlindung di Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kawasan.
“Tapi, kawasan KEK ini kan pengelolanya ada. Yaitu, PT Membangun Sulut Hebat (MSH). Seharusnya, DPRD menghadirkan mereka yang punya otoritas penuh dalam pengelolaan KEK. Agar supaya juga pembahasan tidak diulang-ulang lagi serta RDP ini menghasilkan rekomendasi,” tukasnya.
PT Futai Sulawesi Utara diketahui berdiri dalam sebuah Kawasan Ekonomi (KEK) Bitung. KEK ini terbagi dalam tiga zona. Yaitu zona industri, logistik dan pengelolaan ekspor dengan total luasan 534 hektar.