BOLMUT,SULAWESION.COM– Sore itu, matahari mulai terbenam di belakang gunung, suara burung terdengar di hamparan sawah milik petani di desa Ollot Satu, Kecamatan Bolangitang Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, Provinsi Sulawesi Utara.
Adit Husaini (26) tampak berjalan di area persawahan. Ia datang ke sawah miliknya sekitar pukul 16.00 WITA.
Saat itu Adit ingin menyulam kembali padinya. Ia memilih sore hari agar tak terasa panas saat bekerja. Setelah sebelumnya Bolmut dilanda hujan hampir setiap hari pada bulan Januari 2025.
Tapi Jumat 7 Februari 2025 saat itu berbeda. Cuaca cerah sejak pagi hari, bahkan masih terasa panasnya matahari hingga sore hari pukul 15.00 WITA.
Adit menyulam padinya setelah dimakan hama keong. Ada sekitar tiga petak sawah tanaman padinya dimakan keong. Curah hujan yang tinggi melanda Bolmut memperparah serangan hama keong.
“Ya, curah hujan tinggi sebenarnya menambah atau memperparah serangan hama keong terhadap padinya. Apalagi kalau curah hujan tinggi banyak petani sama-sama mengeluarkan air dari sawah mereka,” ujarnya.
Menurut Adit, ada kondisi yang berubah sejak ia mulai bertani pada tahun 2016. Kala itu ia memiliki prinsip, pantang pulang sebelum kerja selesai.
Jika dulu biasanya pergi ke sawah dari pagi hingga pukul dua siang. Tapi kini berangkat pagi sekitar jam 6 pagi biasanya sudah pulang jam 9 pagi.
“Saat ini saya banyak memilih sore hari untuk pergi ke sawah. Karena agar cuaca sudah tidak terlalu panas,” katanya sambil minum kopi.
Adit sendiri masih tetap menggunakan kalender pertanian lokal untuk pembibitan. Walau sebagai petani padi, tak jarang ia membeli beras, jika stok di rumahnya dan gilingan habis.
Ada sosok petani yang lebih senior dari Adit, yang merasakan hal sama, yakni Zulhijah Dotinggulo (42). Ayah dua anak ini menuturkan curah hujan kali ini sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Petani asal desa Binuanga, Kecamatan Bolangitang Timur ini terpaksa membuat saluran air buatan agar air bisa keluar. Pasalnya sawah yang ia kelola bukan merupakan sawah irigasi. Ia hanya berharap air hujan.
“Tapi saat ini sering kena banjir, sebelumnya tidak. Biasanya memang air banyak, tapi tidak seperti ini,”ujarnya.
Sebenarnya Zul juga memiliki sawah irigasi, tapi karena banjir yang melanda desanya pada 2020 irigasi tersebut rusak. Sampai saat ini belum diperbaiki.
Bagi Zul keberadaan pertanian padi sangat diperlukan saat ini untuk kebutuhan pangan. Dulu desanya banyak yang mengelola padi tapi saat ini sudah jarang.
Banyak yang beralih tanaman. Selain itu mungkin faktor menjual beras agak lambat dibandingkan jagung. “Tanam jagung, beli beras,” tuturnya sambil tertawa.
Zul juga sering menanam jagung. Selama ia menanam jagung, setelah panen ia tidak pernah membeli beras hingga sampai 50 kilogram. Paling hanya sampai 20 kilogram. Itupun tidak cukup.
“Berbeda dengan kita menanam padi, stoknya masih tersimpan. Saat ini masih tersisa sekitar 30 Kg beras,” ungkapnya Sabtu 1 Februari 2025.
Dirinya mengaku pada tahun 2023 saat kemarau panjang melanda Bolmut, harga beras cukup mahal. Sampai-sampai ada yang Rp15-16 ribu per kilogram. Itu pun beras dari Sulawesi Tengah.
Curah hujan tinggi yang dirasakan petani seperti Adit dan Zul diamini Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Sulawesi Utara Muhammad Candra Buana.
“Untuk saat ini wilayah Bolmut masuk pada periode musim hujan dan potensi hujan masih sangat tinggi di wilayah Sulut termasuk Bolmut,” ungkapnya pada Sabtu 1 Februari 2025.
Saat ditanya mengenai penyampaian petani curah hujan saat ini berbeda dan cukup tinggi yang mengakibatkan lahan sawah terendam banjir.
Candra Buana menambahkan karena memang periode musim hujan, salah satu dampak iklim yang berubah yaitu intensitas hujan setiap tahunnya mengalami peningkatan.
Kepala Bidang Prasarana, Sarana Dan Penyuluh Dinas Pertanian Bolmut Syarifuddin mengakui saat ini terjadi pergeseran masa tanam pada padi ladang.
“Yang biasanya masa tanam bulan Oktober, kini banyak petani ladang yang menanam padi bulan Desember. Jadi cuaca juga mempengaruhi pergeseran masa tanam,” katanya.
Perubahan Iklim: Produksi Padi Turun, Ekonomi Pun Turun
Curah hujan yang terus menerus bertambah intensitasnya pada awal tahun 2025 ini dapat memperparah tren penurunan panen komoditas padi di Bolmut yang telah terjadi sejak tujuh tahun terakhir.
Berdasarkan data dalam roadmap percepatan pembangunan pertanian Kabupaten Bolmut tahun 2025-2045 yang disusun oleh pemkab Bolmut kerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB), pada tahun 2023 luas panen komoditas padi (padi sawah dan padi ladang) seluas 6.930 Ha.
Angka ini menurun jauh dibandingkan tahun 2017 dimana luas lahan panen komoditas padi adalah 16.940 Ha.
Penurunan drastis luas panen komoditas padi terjadi antara tahun 2019 dengan luas lahan panen 15.893 Ha menjadi 8.440 Ha pada tahun 2021. Saat itu terjadi akibat adanya alih fungsi lahan ke komoditas jagung.
Namun tren penurunan itu terus berlanjut. Penurunan luas panen komoditas padi dibarengi oleh penurunan produksi padi setiap tahun.
Produksi padi di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara pada tahun 2023 sebesar 37.769 ton atau turun 5.619 ton dari sebelumnya 43.388 ton pada tahun 2022.
Koordinator Bidang Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Sulawesi Utara Muhammad Candra Buana mengatakan, pada tahun 2023 terjadi kemarau sebagai dampak badai El Nino yang melanda Bolmut.
Hal ini berakibat pada penurunan produksi padi sawah dan ladang di Bolmut, dari produksi tahun 2022 yang mencapai 43.388 ton lantas turun di tahun 2023 menjadi 37.769 ton.
Padahal, Bolmut belum lagi pulih dari dampak La Nina tahun 2020 yang justru meningkatkan curah hujan. Saat itu Bolmut dilanda banjir bandang dan tanah longsor yang menyebab kerugian infrastruktur dan ekonomi.
Kerugian pertanian sawah seluas 1.786,66 hektar sedangkan ladang mencapai 341 hektar. Pemkab Bolmut menaksir total kerugian akibat banjir bandang mencapai Rp104.423.661.375.
“Pasca banjir besar tahun 2020 melanda Bolmut, banyak jaringan irigasi yang rusak,” kata Kepala bidang Prasarana, Sarana dan Penyuluh Dinas Pertanian Bolmut Syarifuddin saat diwawancara pada Kamis 6 Februari 2025.
Menurut peneliti BMKG Siswanto dalam webinar yang diselenggarakan oleh Yayasan Pikul dan Lapor Iklim pada tahun 2020 Bolmut terkena dampak La Nina.
Yang mengakibatkan bencana hidrometeorologi, yakni peristiwa yang disebabkan oleh meteorologi dan atau klimatologi yang ekstrim.
Hal ini adalah suatu proses alam yang terjadi di atmosfer, air atau laut yang menyebabkan banjir. Di Bolmut sudah jelas dampaknya yakni penurunan panen padi sawah dan ladang.
Tak heran jika pada tahun 2023 data Badan Pusat Statistik (BPS) Bolmut menyebut pertumbuhan ekonomi Bolmut turun, di angka 5,43 persen, dibandingkan tahun 2022 yang di angka 5,52 persen.
BPS mengakui bahwa perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2023 ini terjadi karena fenomena El Nino yang membuat produksi komoditas pertanian, terutama tanaman pangan, cenderung menurun.
Ujungnya, jumlah penduduk miskin pada tahun 2023 pun mengalami kenaikan menjadi 6.550 jiwa, yang sebelumnya pada tahun 2022 di angka 6.010 jiwa. Penyebabnya adalah akibat kenaikan harga beras dan bahan pokok lainnya.
Solusi Lokal Untuk Ketahanan Lokal
Namun tidak semua mengalami kemunduran. Di Kecamatan Bolangitang Barat, seorang petani padi yang sudah menjelang lansia justru memberi contoh.
Namanya Ahayar Pamili (62) petani asal desa Talaga. Dulu ia merupakan pengamat hama di Bolmut. Kini setelah pensiun ia fokus mengurus masalah pertanian miliknya terutama padi.
Ahayar menceritakan pada tahun 2023 ia tidak menyangka jika kemarau panjang akan melanda Bolmut.
Pasalnya saat itu dirinya telah menanam padi di lahan sawahnya. Tetapi ia tak menyangka ketika kemarau tiba. Saat itu padahal padinya sudah tumbuh.
“Tanah mengering dan pecah. Saya harus berpikir bagaimana padi tetap terkena air,”katanya.
Pertama, ia membuat pengairan buatan dengan menggunakan alkon, tetapi saat itu hanya tanahnya yang terkena air. Apalagi saat itu tanahnya keras. Ahayar kembali berpikir bagaimana sampai daun padi terkena air.
Ahayar mendapat ide dengan membuat ‘hujan buatan’ yaitu dengan menggunakan pipa kincir air. Barangnya ia pesan secara online.
“Tentu saya harus mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang tersebut. Saya beli sekitar Rp1 juta lebih,” jelasnya.
Menurutnya, setelah jadi setiap malam ia memindahkan kincir air buatannya di lahan sawah. Hasilnya ia bisa mendapatkan beras satu ton lebih dari panen padi sawah saat itu. “Saat itu sekitar satu hektar lebih saya siram dengan kincir air buatan. Saat ini alat-alat tersebut masih saya simpan,” ungkapnya.
Upaya Ahayar mengatasi perubahan iklim secara lokal itu tersebut selaras dengan dokumen Pemkab Bolmut, bekerjasama dengan IPB University, yang berjudul Roadmap Percepatan Pembangunan Pertanian Kabupaten Bolmut Tahun 2025-2045.
Dalam poin kekuatan dan peluang pembangunan pertanian di Bolmut, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim sangat diperlukan untuk dapat mempengaruhi hasil panen dan produktivitas pertanian. Hal ini merupakan tantangan pembangunan pertanian berbasis komoditas unggulan.
Laporan ini juga membahas bagaimana konsep pembangunan pertanian berkelanjutan yang mengutamakan pengelolaan dan sumber daya alam yang ramah lingkungan serta memperhatikan keseimbangan ekologi.
Alhasil, inisiatif petani seperti Ahayar yang sudah memiliki basis keilmuan sebelumnya, justru dapat berperan besar dalam mengembangkan sistem pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim seperti kekeringan, banjir dan suhu ekstrem.
Meski tidak mudah, Ahayar telah membuktikan bahwa peningkatan keahlian tenaga kerja pertanian yang handal dan adaptif sangat penting, selain juga pemanfaatan sumber daya lahan secara optimal untuk meningkatkan ketahanan pangan di tengah perubahan iklim dinamis.