Dorong Ranperda Ramah HAM di Manado, Tuntut Negara Harus Adil

Direktur YLBHI LBH Manado Satriano Pangkey (kiri), Koordinator Divisi Hukum Komunitas Satu Hati Sulut Serjio Saeh (kanan) saat diwawancara awak media, Sabtu, 18 November 2023. (Foto: Adi Sururama)

MANADO, SULAWESION.COM – Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berbasis gender maupun orientasi seksual di Sulawesi Utara (Sulut), khususnya Kota Manado kian masif.

Bacaan Lainnya

YLBHI LBH Manado dan Satu Hati Sulut serta beberapa OBK (Organisasi Berbasis Komunitas), sejak 2022 intens mendorong pembuatan Ranperda (Rancangan Peraturan Daerah) Ramah HAM.

Direktur LBH Manado Satriano Pangkey menjelaskan agenda ranperda ramah ham tidak lepas daripada rentetan kasus yang selama ini ditangani pihaknya, terlebih kasus kekerasan berbasis gender atau KGB.

Menurutnya kondisi maupun situasi real di Kota Manado tidak mencerminkan pemenuhan ham terhadap kelompok minoritas dan rentan.

“Aspek ham dalam kebijakan yang diatur pemerintah seringkali bias, negara harus adil dalam pemenuhan ham,” jelas Yano kepada sejumlah awak media di sela-sela Uji Kompetensi (UKJ) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado di Hotel Grand Puri, Sabtu (18/11/2023).

Yano menuturkan prinsip pemenuhan ham yang dibuat negara kadang tidak aktif diakomodir di sejumlah kebijakan.

Padahal Kota Manado dikenal sebagai salah satu daerah yang toleran, namun pelabelan kepada kelompok minoritas masih terus digencarkan.

Landasan hukum ranperda ramah ham yang saat ini diperjuangkan LBH Manado dan Satu Hati Sulut yaitu berangkat daripada Kovenan Hak Sipil Politik Undang Undang Nomor 12 tahun 2005, Deklarasi Wang Zhu tahun 2014 dan Permenkumham 34 Tahun 2016 tentang Arahan Menjalankan Perda Ramah HAM di Tingkat Kota/Kabupaten.

“Bagaimana mereka memposisikan kota sebagai wilayah yang kemudian paling padat penduduk, pemenuhan ham harus berangkat dari kota,” tutur Yano.

Sepanjang tahun 2022, LBH Manado menangani sebanyak 600an kasus perampasan ruang hidup, khusus diskriminasi gender dua kasus.

Yano membeberkan aktor ataupun pelaku kekerasan berbasis gender maupun orientasi seksual didominasi oleh aparat kepolisian dan pemerintah.

“Menangani kasus yang melibatkan aparat sebagai aktor kasus kekerasan gender, selain itu aktor lainnya adalah pemerintah. Persoalan ini sangat kompleks baik secara struktural maupun personal,” bebernya.

Sementara Koordinator Divisi Hukum Komunitas Satu Hati Sulut Serjio Saeh menyayangkan sikap masyarakat melalui stigma negatif terhadap kelompok minoritas berbasis gender maupun orientasi seksual.

“Di Sulut masih banyak isu kesetaraan gender yg terjadi, diskriminasi terjadi hingga detik ini,” sayangnya.

Data perbulan Satu Hati Sulut ada sebanyak 300-an data kekerasan berbasis gender, pelakunya didominasi masyarakat.

“Sering dilempar batu, sering dilabeli kalimat negatif,” tutur Serjio.

Khususnya di Kota Manado, Serjio menerangkan intimidasi yang sering dialami rekan-rekannya justru terjadi di pusat keramaian.

“Titiknya di Taman Kesatuan Bangsa,” terangnya menutup.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *