Eksekusi Lahan di Desa Kalasey Dua Minahasa Ricuh, LBH: Kepolisian Langgar Prinsip HAM

 

MINAHASA, SULAWESION.COM – Proses eksekusi lahan garapan masyarakat petani penggarap seluas 20 Ha di Desa Kalasey Dua, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) berakhir bentrok, Senin (7/11/2022).

Bacaan Lainnya

Ratusan masyarakat petani bersama sejumlah elemen gerakan masyarakat sipil melakukan blokade jalan dan meminta agar eksekusi lahan tidak dilakukan, mengingat tanah tersebut merupakan lahan aktif yang telah dikelola oleh mereka selama puluhan tahun.

Di samping itu, sebanyak 70 personil Satpol PP dan 150 personil gabungan Polda Sulut dan Polresta Manado didatangkan untuk mengawal proses eksekusi lahan.

Bentrokan dipicu ketika aparat kepolisian dan Satpol PP tak diberikan akses oleh warga untuk menggusur lahan para petani, hingga kemudian mereka memaksakan diri untuk menerobos.

Dari rekaman video amatir yang berhasil didapatkan, beberapa kali aparat kepolisian menembakan gas air mata ke aspal jalan dan pantulannya mengenai sejumlah massa yang hanya berjarak kurang lebih 10 meter dengan pihak petugas.

Pukul 10:15 waktu setempat, kericuhan pun tak terelakan. Saat itu 14 orang berhasil ditangkap kemudian diamankan ke Polresta Manado termasuk PBH LBH (Pemberi Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum) Manado.

Dari liputan Sulawesion.com saat di lapangan, tiga warga turut mengalami luka ringan akibat kekerasan seperti terkena siraman dari mobil pemadam kebakaran, water cannon, tembakan gas air mata dan bahkan pukulan aparat kepolisian saat menerobos blokade yang dibangun oleh masyarakat petani dan elemen gerakan masyarakat sipil.

Menurut Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Polresta Manado Kompol Thommy Aruan sejauh ini pemerintah provinsi Sulut dan kepolisian sudah melakukan pendekatan secara persuasif kepada masyarakat petani setempat.

“Kegiatan hari ini kita sudah laksanakan sebelumnya dengan melakukan berbagai langkah-langkah, baik itu yang dilakukan oleh pihak Provinsi Sulawesi Utara dalam hal ini dinas pariwisata maupun bagian aset, baik juga yang dilakukan oleh edukasi-edukasi maupun penggalangan yang dilakukan oleh anggota Polri terkait dengan pengamanan aset milik Pemprov bekas HGU,” kata Kompol Aruan kepada awak media.

Menurut Beliau sewaktu petugas ingin memasuki titik area penggusuran bersama alat berat terlihat massa menghalangi jalannya proses penggusuran lahan tersebut.

“Proses kita membuka jalan tadi ada beberapa masyarakat yang sifatnya sudah berupaya anarkis memancing petugas dan melakukan perlawanan, kita lakukan pengamanan untuk dilakukan interogasi awal dan tentunya nanti kita lihat apakah mereka dikategorikan melanggar hukum atau cukup diamankan,” kata Kompol Aruan kepada awak media saat berada di lokasi.

Beliau menambahkan pihaknya bakal menggelar investigasi dari kejadian ini untuk mencari tahu jenis pelanggaran dari massa yang melawan dan melanggar hukum.

Di tempat yang sama, para petani merasa keberatan atas aksi eksekusi lahan tersebut dan meminta Presiden RI Joko Widodo memberikan belas kasihan kepada mereka memperoleh kembali lahan garapan tempat dimana para petani mencari nafkah untuk memenuhi hidup sehari-hari.

“Kami kasiang petani Kalasey Dua, kami warga negara Indonesia, kenapa kasiang bapak kami petani so dibekeng sama deng binatang kasiang bagini, masa kasiang petugas so bekeng bagini bapak (Kasihan kami petani Kalasey Dua, kami warga negara Indonesia, kasihan kenapa kami petani dibuat seperti binatang seperti ini, kasihan kenapa petugas sudah membuat begini bapak),” tutur Oma Ndio memakai bahasa Manado saat diwawancarai wartawan sembari menangis dan memohon.

Selain itu, Wempi Songke yang juga merupakan petani yang tanahnya bakal digusur menjelaskan bahwa mereka merupakan bekas buruh di perusahaan PT ASIATIK. Pasca berakhirnya HGU (Hak Guna Usaha) perusahan tersebut  salah seorang gubernur menyuruh sebanyak 40 kepala keluarga di lokasi itu untuk mengolah lahan tersebut.

“Nah begitu tahun 80 perusahaan tutup torang ba kobong diperintahkan olah semua ini. Sampai pada waktu Gubernur Mantik dia kase alat pacol, peda, skop, silahkan ba kobong samua, nah ini no torang bakobong. Makin lama makin banyak sampe skarang. Tiba-tiba satu waktu datang dorang bilang ini tanah Pemprov, torang tahu tanah ini tanah negara bukan tanah pemprov, nah baku ambe di situ. Kage sudah dong so mulai bilang ini mo ambe, mo ambe dulu kata holtikultura, mo ambe itu sisa itu somo se kaluar sertifikat ngoni, jadi torang kase, ganti rugi cuma berapa itu (Nah begitu tahun 80 perusahaan tutup kami berkebun dan diperintahkan olah semua ini. Sampai pada waktu Gubernur Mantik ia memberikan alat pacul, parang, sekop, silahkan berkebun semua, nah karena ini kami berkebun. Makin lama makin banyak hingga saat ini. Tiba-tiba satu waktu mereka datang mereka katakan ini tanah Pemprov, setahu kami tanah ini tanah negara bukan tanah Pemprov, nah debatlah saat itu. Tiba-tiba mereka katakan ini akan diambil, diambil dahulu holtikultura, mau diambil itu kemudian akan dikeluarkan sertifikan kalian, jadi kami beri, ganti ruga hanya berapa saat itu),” jelas Songke di samping Oma Ndio dengan dialeg Manado kepada wartawan.

Menjelang pukul 12:00 WITA kondisi kembali kondusif. Situasi kembali memanas ketika masyarakat dan elemen masyarakat sipil mencoba menghalau kerja alat berat. Dengan pengeras suara yang terdapat di mobil komando, petugas kepolisian kemudian menyuruh massa untuk tidak mengganggu jalannya penggusuran lahan tersebut. Namun kondisi kembali tenang setelah massa kembali ke posko penjagaan untuk melaksanakan doa bersama dan menyanyikan lagu rohani.

Pukul 15:15 waktu setempat situasi kembali mencekam dengan kedatangan pihak kepolisian dan Satpol PP ke posko penjagaan. Mereka datang dengan langsung mengepung area tersebut. Beberapa kali pihak kepolisian memberikan aba-aba untuk segera meninggalkan Desa Kalasey Dua kepada pihak yang tidak memiliki kewenangan, termasuk orang-orang yang tengah melakukan advokasi kepada masyarakat. Bahkan pihak kepolisian menyuruh untuk menunjukan identitas.

Selang beberapa saat kericuhan pun tak terelakan. Kepolisian langsung menangkap massa dengan tindakan yang diluar prinsip hak asasi manusia. Orang-orang dipukuli, ditendang, ditarik secara paksa hingga membuat pakaian mereka robek, dan kemudian ditenteng ke mobil yang sudah terparkir di dekat posko.

Gemuruh tangis maupun teriakkan memecah suasana saat itu. Anak-anak berhamburan dan orang tua sempat lupa jika mereka membawa anak. Tarik menarik antara aparat kepolisian, Satpol PP dan massa diikuti dengan pembongkaran posko penjagaan. Puluhan kendaraan turut diangkut oleh mereka bersama 34 orang dan langsung di bawah ke Poresta Manado. Nanti sekira pukul 20:00 WITA seluruh tahanan massa di Kalasey Dua dibebaskan setelah memberikan keterangan polisi.

Atas kejadian tersebut LBH Manado mengecam tindakan represif aparat penegak hukum kepada massa di Desa Kalasay Dua dan meminta agar pemerintah untuk menghentikan proses eksekusi lahan karena belum memiliki status hukum yang mutlak.

“Pemprov Sulut dalam hal ini Gubernur tidak taat terhadap hukum bahwa lahan tersebut masih dalam proses upaya hukum kasasi bahkan belum ada putusan untuk melakukan eksekusi, akan tetapi Pemprov yang menggunakan aparat dengan menggunakan senjata api lengkap memaksa masuk dan beberapa kali menembakkan gas air mata kepada masa aksi. Aparat langgar prinsip HAM. Bahkan, ada salah satu anggota polisi yang terekam mengeluarkan caci maki terhadap petani,” ujar Frank Kahiking, Dirut LBH Manado.

Perlu diketahui bahwa sejak tahun 1982, para petani Desa Kalasey Dua telah menggarap lahan pertanian dengan menanam pisang, singkong, kelapa dan berbagai jenis tanaman lainnya. Kemudian pada tahun 2021, Gubernur Sulut mengeluarkan SK Hibah No. 368/2021 tentang Pelaksanaan Hibah Tanah kepada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia seluas 20 hektar. Hingga pada awal tahun 2022, masyarakat petani Desa Kalasey Dua melalui kuasa hukum kepada LBH Manado mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Manado dengan perkara nomor: 9/G/2022/PTUN.Mdo. Dan yang terkahir ini pada tanggal 24 Oktober 2022 LBH Manado melakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, setelah pengadilan di PTUN Manado menyatakan “tidak diterima” gugatan petani desa kalasey dua dan Pengadilan Tinggi TUN Makassar menguatkan putusan PTUN Manado.

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *