SULAWESION.COM – Janji politik calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 2024-2029 harus menjadi atensi publik untuk penyelamatan pulau-pulau kecil dari ketamakan korporasi dan kongkalingkong pemerintah maupun pemangku kebijakan terkait kepentingan perusahaan tambang.
Meskipun ketiga kandidat capres dan cawapres mempunyai strategi sendiri untuk kelangsungan ekologi dalam memaksimalkan keseimbangan ekosistem, namun hal ini tidak menutup kemungkinan inkonsistensi visi misi mereka jika terpilih nanti.
Capres dan cawapres nomor urut 1 Anies-Muhaimin, dari 8 misi yang dipaparkan kepada publik, 2 di antaranya menyentil soal lingkungan.
1. Mewujudkan keadilan ekologis berkelanjutan untuk generasi mendatang.
2. Membangun kota dan desa berbasis kawasan yang manusiawi, berkeadilan dan saling memajukan.
Capres dan cawapres nomor urut 2 Prabowo-Gibran, dari 8 misi yang dipaparkan kepada publik, 5 di antaranya menyentil soal lingkungan.
1. Memantapkan sistem keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, udara, ekonomi syariah, ekonomi digital, ekonomi hijau dan ekonomi biru.
2. Melanjutkan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, serta mengembangkan industri agro maritim di sentra produksi melalui peran aktif koperasi.
3. Melanjutkan hilirisasi dan mengembangkan industri berbasis sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
4. Membangun dari desa dan dari bawah untuk pertumbuhan ekonomi, pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.
5. Memperkuat penyelarasan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan, alam dan budaya, serta peningkatan toleransi antar umat beragama untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Capres dan cawapres nomor urut 3 Ganjar-Mahfud, dari 8 misi yang dipaparkan kepada publik, 1 poin menyentil soal lingkungan.
1. Mempercepat perwujudan lingkungan hidup yang berkelanjutan melalui ekonomi hijau dan biru.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Kilometer Persegi beserta kesatuan ekosistemnya.
Pasal 23 menyebutkan, pertama pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya. Kedua pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan.
Lanjutan dari Pasal 23 ayat 2 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007, diprioritaskan untuk kepentingan Konservasi, Pendidikan dan Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan, Budidaya Laut, Pariwisata, Usaha Perikanan dan Kelautan dan Industri Perikanan secara Lestari, Pertanian Organik dan atau Peternakan.
Secara keseluruhan, kesimpulan Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 soal pemanfaatan pulau-pulau kecil tidak disebutkan adanya aktivitas pertambangan apapun bentuknya.
Menurut catatan Forest Watch Indonesia (FWI), mengacu pada Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014, Indonesia memiliki 19.108 pulau dan lebih dari 99 persen merupakan pulau-pulau kecil.
Luas pulau-pulau kecil di Indonesia mencapai 6,99 juta Hektar atau setara 105 kali luas DKI Jakarta. Sayangnya pulau kecil di Indonesia sudah di kavling konsesi perusahaan dengan luas 874 ribu Hektar dan 242 pulau kecil di Indonesia dalam konsesi tambang dengan luas mencapai 245 ribu Hektar.
Jelang debat ke empat jadwal KPU RI yang mengusung tema “Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Agraria, Masyarakat Adat dan Desa”, FWI bersama Forum Akademisi Indonesia Timur Melawan Tambang di Pulau Kecil melaksanakan media briefing yang bertajuk “Menuntut Janji Capres dan Cawapres untuk Selamatkan Pulau Kecil dari Tambang” secara daring melalui Via Zoom Meeting, Kamis (18/1/2024).
FWI menghadirkan 5 pemateri yaitu pertama Prof Dr Ir La Ode M Aslan MSc dari Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara menjabarkan materi terkait Kelautan Perikanan Pesisir dan PPK. Kedua Dr Ir Sitti Marwah MSi dari Universitas Haluoleo menjabarkan materi terkait Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Ketiga Ir Robiatul Adawiyah MSi dari Universitas Haluoleo menjabarkan materi terkait Agroteknologi/Pertanian. Keempat Hafidah Nur SP MSi dari Universitas Haluoleo menjabarkan materi terkait Sosial dan Kelembagaan Kehutanan. Kelima Prof Dr Ir Agustinus Kastanya MS dari Universitas Pattimura menjabarkan materi terkait Kehutanan.
Zoom meeting bersama Forum Akademisi Indonesia Timur Melawan Tambang di Pulau Kecil dimoderatori oleh Manager Media, Kampanye dan Intervensi Kebijakan FWI Anggi Putra Prayoga.
Prof La Ode M Aslan mengungkit masalah yang dihadapi pulau-pulau kecil, mulai dari ketertinggalan ketersediaan infrastruktur, ketertinggalan kualitas sumber daya manusia (mayoritas berpendidikan dasar/SD-SMP), rentang kendali dengan wilayah yang masih minim, banyak pihak yang kurang bijak hingga melanggar peraturan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem pada pulau tersebut sebagai contoh penambangan, perubahan alih fungsi lahan, kemudian regulasi yang semakin merusak pulau-pulau kecil yang dilatarbelakangi Undang Undang Cipta Kerja dan Undang Undang Minerba.
“Sebanyak 24 pulau kecil di Indonesia telah lenyap baik akibat kejadian alam maupun ulah manusia, menurut data pada tahun 2021 sebanyak 115 pulau di Indonesia terancam, tahun 2030 sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan lenyap akibat bencana alam dan pemanasan global (statement Menteri Kelautan dan Perikanan RI Laksamana Madya TNI Purn Freddy Numberi pada Jumat tanggal 2 Oktober 2009) dan hilangnya pulau-pulau kecil akan dipercepat dengan pola eksploitasi yang tidak ramah lingkungan,” papar Prof La Ode Aslan.
Ia merekomendasikan beberapa solusi pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil di antaranya hentikan aktivitas pengrusakan lingkungan seperti penambangan pasir dan penambangan logam berat, kemudian investigasi secara transparan dan akuntabel terhadap kerusakan yang telah terjadi akibat eksploitasi/eksplorasi tambang.
Prof La Ode Aslan menegaskan adanya revisi atau peninjauan kembali Undang Undang Cipta Kerja dan Minerba.
“Lakukan monitoring dan evaluasi rutin (tingkat pencemaran, kerusakan lingkungan, kerusakan biodiversitas) di pulau-pulau kecil, selanjutnya pelibatan semua stakeholder dan konsisten dalam implementasi undang undang atau regulasi terkait,” tegasnya.
Prof Agustinus Kastanya menekankan bahwa kehadiran pertambangan berdampak sangat luas terhadap ekologi atau kelangsungan makhluk hidup.
Deforestasi, penggurunan, erosi dan hancurnya biodiversitas terutama endemis berpengaruh pada pencemaran sungai dan pesisir serta laut.
“Termasuk kualitas air sudah sangat berbahaya dan mempengaruhi rantai makanan bagi makhluk hidup, merusak kesehatan yang berbahaya bagi penduduk, kemudian konflik antar keluarga, masyarakat dan konflik tenurial serta terjadi kemiskinan dan hancurnya sumber ekonomi,” tekannya.
Hal senada turut disampaikan Dr Sitti Marwah, menurutnya ambisi kendaraan listrik Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 8 Agustus 2019 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Materai untuk Transportasi Jalan justru melahirkan tragedi ekologis.
Dr Sitti Marwah mengungkapkan di sinilah urgensi mengkritisi pertambangan nikel terutama di pulau-pulau kecil yang memiliki kerentanan serius dari ancaman bencana seperti gempa bumi dan tsunami serta ancaman kenaikan air laut akibat perubahan iklim dan pemanasan global.
“Untuk itu pengelolaan SDA harus memperhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan manusia yang akan berdampak pada tercapainya mandat yang telah ditetapkan dalam UUD 1945 pasal 28 ayat 1 yang berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak dan memperoleh pelayanan kesehatan,” ungkap Dr Sitti Marwah.
Dr Sitti Marwah dalam paparannya menyatakan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia yaitu 23,7 persen dari total cadangan dunia.
Adapun 3 daerah di Indonesia yang memiliki kandungan nikel terbesar adalah Sulawesi Tenggara yaitu sebanyak 32 persen, Maluku Utara 27 persen dan Sulawesi Tengah 26 persen. Sulawesi Tenggara merupakan provinsi yang ditargetkan sebagai salah satu lokasi pertambangan nikel oleh pemodal melalui perpanjangan tangan pemerintah.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat di akhir tahun 2020, pemerintahan Indonesia menerbitkan sebanyak 8.588 Izin Usaha Produksi atau IUP. IUP tersebut mengkaveling seluas 44 persen daratan dan kepulauan. 221 IUP terbit di 14 kabupaten/kota di Sulawesi Tenggara.
Sementara data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2023, sepanjang kepemimpinan rezim Jokowi terdapat 2.710 konflik agraria. Sedangkan catatan Komnas HAM ada 900 aduan publik per November 2023 dan 692 kasus sepanjang semester pertama 2023.
Di sesi materi Hafidah Nur, ia menyikapi fakta pelanggaran HAM sebagai dampak sosial kegiatan pertambangan di pulau kecil melalui studi kasus Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia mencatat ada 6 perusahaan tambang di Pulau Wawonii yang telah mengantongi IUP dari gubernur Sulawesi Tenggara. Total lahan keenam pemilik konsesi mencapai seluas 7.649 Hektar.
Eksplorasi PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Pulau Wawonii seluas 954 Hektar. Menurut Hafidah Nur Padahal jika merujuk Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 tidak boleh ada aktivitas tambang. Sedangkan luas Pulau Wawonii yaitu 867,58 Kilometer Persegi.
Ia menjelaskan dampak lingkungan terhadap kehidupan masyarakat di sekitar tambang turut mempengaruhi kelangsungan konstruksi sosial maupun budaya, seperti;
1. Posisi warga berada pada kelompok pro dan kontra, termasuk tokoh-tokoh masyarakat, pemuda dan tokoh agama.
2. Kelompok pro dan kontra sampai mempengaruhi internal keluarga sehingga menimbulkan konflik.
3. Masuknya tenaga-tenaga kerja dari luar negeri memancing situasi sosial yang mengarah ke tindakan kriminal.
4. Situasi sosial semakin mudah terprovokasi.
5. Memicu bertambahnya persoalan sosial seperti prostitusi, pengangguran, kekerasan dalam rumah tangga dan perkelahian antar warga.
6. Lokasi bekas tambang bisa merenggut jiwa manusia.
7. Terganggunya wilayah kelola rakyat, baik akibat operasional tambang maupun pembuangan limbah.
8. Warga di sekitar areal tambang semakin mudah terserang penyakit khususnya ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), gatal-gatal, gangguan pencernaan dan bahkan kematian karena pengaruhnya muncul setelah beberapa tahun.