Ada Fenomena Caleg Pindah Parpol di Bitung, JPPR Dorong Bawaslu Waspada

Koordinator JPPR Kota Bitung, Arham Lakue. (Fto/Yaser)
Koordinator JPPR Kota Bitung, Arham Lakue. (Fto/Yaser)

BITUNG, SULAWESION.COM – Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Kota Bitung ikut menanggapi partai politik saling ‘bajak’ bakal calon legislatif (Bacaleg) di tengah tahapan perbaikan daftar calon sementara.

Koordinator JPPR Kota Bitung, Arham Lakue menjelaskan, kecenderungan caleg-caleg pindah dari satu partai ke partai yang lain adalah fenomena musiman jelang pemilu 5 tahunan.

Bacaan Lainnya

Menurut Arham, perpindahan kader atau caleg dari satu parpol ke parpol yang lain bukan karena dibajak. Melainkan, katanya, ada tawaran menggiurkan dari partai lain.

Kabid Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulut ini mengartikan, tawaran menggiurkan itu sebagai mahar politik yang dijanjikan. Sehingga sejumlah caleg pilih jalan migrasi politik ke partai lain.

“Caleg yang pindah partai bukan dibajak. Pembajakan kader atau bacaleg dapat berkonotasi negatif. Karena kata pembajakan dapat diartikan sebagai pengambilalihan secara paksa dan disertai ancaman. Fenomena bacaleg pindah partai di Bitung ini tidak terlepas dari adanya keuntungan yang ditawarkan partai lain,” jelasnya, Rabu (09/08/2023).

Ia juga membeberkan, ada faktor lain adanya fenomena tersebut. Salah satunya, yang mempengaruhi seorang caleg pindah partai itu soal dengan nomor urut pencalegkan.

Menurutnya, banyak caleg pindah ke partai yang lain karena persoalan daftar nomor urut, utamanya mereka mengincar nomor urut 1 dan nomor urut 2. Nomor urut kecil ini kerap diartikan paling sering dipilih oleh masyarakat saat pemilihan berlangsung.

“Meski nomor urut itu tidak terlampau penting dalam sistem proporsional terbuka, karena penentu kemenangan caleg itu adalah suara terbanyak. Tapi, seringkali nomor urut 1 dan 2 itu adalah nomor urut yang dianggap cukup praktis, yang menegaskan sang caleg itu adalah orang penting di partai,” katanya.

Dengan adanya fenomena itu, aktivis yang memiliki tinggi badan kurang lebih 155 cm ini mendorong Bawaslu untuk lebih waspada terkait pengawasan pemilu 2024 mendatang.

“Bukan tidak mungkin mahar politik ini dijadikan senjata caleg untuk meraup suara di Pemilu,” tukasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *