Mongasi’, Kearifal Lokal Suku Mongondow Zaman Dahulu

Burung Hantu, digunakan untuk Tradisi Mongasi Suku Mongondow. Foto Pexel.com

SULAWESION– Suku Mongondow di daratan Sulawesi Utara, memang unik untuk diikuti. Banyak tradisi yang menjadi praktik kearifan lokal zaman dahulu. Salah satunya adalah Mongasi’.

Kearifan lokal Suku Mongondow Mongasi’ ini adalah kebiasaan mendengarkan suara burung Manikulu atau burung Hantu (Ordo Strigiformes).

Bacaan Lainnya

Biasanya, Mongasi’ dilakukan saat warga Suku Mongondow akan membuka lahan atau membuka pemukiman penduduk. Bahkan, mereka menggunakannya untuk mengobati orang sakit.

Mongasi’ dilakukan oleh beberapa orang atau bahkan banyak orang dipimpin oleh seorang Tonawat atau Mongongasi’.

Sebelum melakukan pekerjaan ini, sang Tonawat mempersiapkan alat alat yang diperlukan dan tempat untuk melaksanakan kegiatan.

Alat-alat untuk Mongasi’ seperti sebuah bambu berukuran kira kira sejengkal yang digunakan untuk ditiup memanggil burung yang disebut Kokasi’.

Kemudian ada Batu Taiyan sebuah batu sebesar jempol ibu jari tangan dan batu tersebut bercabang, konon batu inilah yang menjadi sumber kekuatan magis untuk memanggil burung.

Kemudian dipilih tempat atau pohon untuk sarana memanggil sang burung. Diupayakan pohon yang hidup tunggal atau tidak ada pohon lain di dekatnya.

Kegiatan ini dilakukan di malam hari sekira jam 8 malam.

Berangkatlah rombongan bersama sang Tonawat di tempat yang telah disepakati. Setelah sampai di tujuan, sang Tonawat berdiam diri sejenak kemudian mengambil parang dan menancapkan pada pohon yang dimaksud sambil membaca Rosiba’.

Beberapa lama kemudian, mengeluarkan batu Taiyan dan meniup Kokasi’. Menunggu beberapa saat, datanglah sang burung hinggap di pohon yang telah ditandai dengan parang.

Kemudian sang Tonawat dan warga mendengarkan burung bersuara sekian kali untuk suatu maksud.

Misalnya bersuara 29 kali untuk didengar dan ditafsirkan untuk penentuan pembukaan kebun baru. Maka bersuaralah sang burung Hantu dengan berbagai macam durasi dan intonasi.

Ada suara kuat dan berturut turun, ada yang lemah dengan durasi panjang. Setelah genap pada permintaan, sang burung-pun berhenti dan terbang kembali.

Kegiatanpun usai dan Tonawat beserta warga pulang ke rumah atau pondok dan menafsirkan apa yang didengar dari suara burung Hantu tersebut.

Menurut warga Suku Mongondow, Rustam Efendi Olii, kearifan lokal ini masih ditemui di era 80-an ke bawah. Namun, saat ini praktik Mongasi’ tidak lagi ditemukan.

“Perubahan zaman dan kurangnya regenerasi sehingga praktik Mongasi’ seperti ini tidak lagi ditemui,” ujar Rustam.

Mongasi’ ini selain digunakan untuk membuka lahan, juga sering digunakan untuk mengobati orang sakit dengan cara tertentu.

Orang Suku Mongondow zaman dahulu percaya, dengan mendengarkan suara burung Hantu merupakan satu pesan .

Jika burung Hantu bersuara sekali, menurut warga, itu akan terjadi hal yang tidak diinginkan. Tiga kali bersuara, ada saudara atau kerabat yang akan meninggal.

Demikianlah kearifan lokal Mongasi’ yang sering dilakukan Suku Mongondow zaman dahulu. Percaya atau tidak, harusnya tradisi seperti ini harus terus dipelihara atau diketahui anak dan cucu.

 

Editor: Supardi Bado

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *